Selasa, 27 Maret 2012

Arah Pendidikan kita?

Akhir akhir ini saya merasa resah ketika membaca berbagai berita mengenai kebijakan pendidikan kita. Sebagai seorang pendidik, Saya merasa resah karena secara pribadi saya merasa arah kebijakan pendidikan kita semakin hari semakin absurd saja. Ada beberapa kebijakan pendidikan yg dibuat pemerintah kita melalui Kementerian Pendidikan Nasional yang notabene tugas utamanya adalah meningkatkan kualitas Pendidikan kita, justru menurut saya pribadi melakukan hal yang sebaliknya.
Hal pertama yang membuat saya kecewa dan sedikit tergelitik ketika membaca bahwa Menteri Pendidikan kita mengatakan akan menggunakan Nilai UAN sebagai standar atau syarat utama masuk ke perguruan tinggi negeri. Menurut hemat saya sebagai pendidik, kebijakan ini adalah suatu kebijakan yang sangat riskan dan konyol karena sebagaimana diketahui secara umum: UN dalam pelaksanaanya dilapangan banyak terjadi kecurangan dan UN sendiri pada hakikatnya adalah suatu kebijakan yg diskriminatif karena berbagai hal seperti yg diungkapan banyak pakar pendidikan yg tidak perlu saya jelaskan lagi. Lagipula, secara hukum tetap melaksanakan UN merupakan suatu pelanggaran hukum karena secara hukum MA telah memutuskan bahwa UN harus dihentikan karena pemerintah belum mampu menyediakan standar standar yg diperlukan sebagai syarat UN dapat dilaksanakan. Saya sebagai guru tidak dapat memahami apa landasan pemikiran menteri pendidikan ingin menerapkan kebijakan yg konyol seperti itu ketika asumsi dasarnya saja sudah bermasalah. Maka sangat bisa dimengerti mengapa PTN yang berkualitas seperti UGM dan UI menolak ide pak menteri itu. Jika itu terjadi, maka input PTN akan sangat semberawut karena nilai UN hampir diseluruh Indonesia telah banyak disulap oleh tangan tangan ajaib demi masa depan anak didik. Biarkanlah UGM, IU,ITB dan semua PTN membuat tes masuk sendiri sendiri karena dengan begitu terlihat jelas kualitas peserta didik yang akan menjadi mahasiswa.
Kita sebagai bangsa seharusnya belajar dari sejarah. Sebagai contoh saja kebijakan UN, dengan menerapkan UN sebagai standar kelulusan pemerintah secara langsung menghancurkan salah nilai utama pendidikan yaitu kejujuran karena ketika UN menjadi patokan dasar kelulusan yg pada akhinya membuat semua kepala daerah secara tidak langsung memerintah kepada semua jajaran pendidikan dibawahnya untuk “menyukseskan” daerahnya dalam UN. Hal ini tidak dapat disalahkan kepada kepala daerah semata karena pada esensinya tidak ada daerah yg ingin siswa siswinya banyak yg tidak lulus hanya karena UN. Dengan menjalarnya sistem ketidakjujuran ini akan hanya menghasilkan anak didik yg tidak jujur pula dan tidak akan bisa berpikir kritis karena dari sejak dari SD mereka telah diajarkan ketidakjujuran. Bagi saya sebagai guru, esensi proses pendidikan adalah bagaimana saya sebagai guru mampu membuat siswa bepikri kritis dalam melihat segala issue dari sudut pandang yang berbeda. Mampu berpikir krits terhadap segala informasi yangg mereka terima dari berbagai sumber dan bertanya tentang hal yg mereka baca dan lihat. Apakah ini benar apakah itu benar?. Rasa ingin tahu adalah dorongan terbesar dalam pendidikan. Dengan sistim ini, saya melihat kehancuran dalam setiap anak didik kita. Siapa yg salah? Guru, bupati, gubernur? Tidak. Mereka dan kita hanyalah pelaksa kebijakan yg secara terpaksa harus menerapkan kebijakan yg secara esensinya sudah salah. Yg salah menurut saya (maaf) menteri pendidkan dan presiden karena secara jelas melanggar hukum karena tetap saja menerapkan UN dengan melanggar putusan MA.
Seringkali bapak menteri pendidikan yg terhormat jika ditanya mengapa UN tetap dilksanakan ditengah putusan MA yg melarang UN? Beliau selalu berkata bahwa setiap proses pendidkan harus ada tahap mengukur keberhasilan proses pendidikan dan menurut beliau tahap itu adalah UN. Memang sangat mudah dimengerti bahaw harus ada semacam evaluasi yang bisa mengukur proses pendidikan tiga tahun anak didik, namun tidak dengan UN. Bagi saya, proses pendidikan tiga tahun itu merupakan proses panjang dan tidak akan bisa dievaluasi dalam waktu seminggu. Yang UN berikan hanyalah gambaran tentang kemampuan siswa pada level dimana kepercayaan akan validitas evaluasi semacam ini sangat diragukan. Saya rasa kita sebagai bangsa harus belajar bagaimana negara maju dalam hal melakukan evaluasi pendidikan mereka. Kita ambiL contoh saja Amerika Serikat. Sepengetahauan saya, di Amerika Serikat sendiri tidak ada UN yang sifatnya berlaku secara nasional yg menentukan kelulusan siswa. Di AS tidak ada istilah lulus atau tidak bagi siswa SMA, yang ada adalah bahwa sekolah menilai siswa dengan proses belajarnya dan siswa harus menyelesaikan beberapa mata pelajaran yg harus dipenuhi jika ingin menyelesaikan sekolah menengahnya. Pemerintah dan dewan pendidikan setempat menentukan apa saja yg perlu dipelajari di jenjang SMA. Pemerintah hanya membuat panduan secara umum tentang konten apa saja yg perlu dipelajari siswa pada masa SMA. Yg ditekankan oleh pemerintah Amerika sendiri adalah proses pendidikan dan perekrutan guru serta adanya upaya pendidikan berkesinambungan bagi para pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu contoh sederhana saja bahwa menjadi guru di Amerika mmbutuhkan kualifikasi yg betul betul berkulitas. Setiap akhir semester akan ada evaluasi dari siswa dan dewan pendidikan lokal. Jika guru tersebut dinilai oleh siswa tidak cakap dan tidak bisa mengajar maka guru tersebut bisa saja dalam dua semester kedepan dipecat. Guru juga dalam bebarapa tahun scera rutin diwajibkan untuk mengambil beberapa mata kuliah tertentu dikampus untuk meingkatan kualitas. Hal ini saya temukan ketika saya sekelas dengan pak Erick guru bahasa Inggris di SMP di Newark ketika sama sama mengambil mata kuliah Structure of language. Esensinya adalah bahwa guru selaku pendidik perlu diupdate pengetahuan secara berkesinambungan agar kualitas pembelajaran yg diberikanya kelak juga akan baik. Sementara perekrutan guru gur PNS pada umunya tidak melalui proses yg sesuai. Guru yg nanti akan mengajar bidang keilmuanya hanya ditest pengetahuan umum saja tanpa ada test spesifik seperti tes Praxis di Amerika dan tes praktek mengajar. Saya secara pribadi merasa jika cara merekrut guru seperti ini terus, maka jangan banyak berharap pada kualitas pendidikan anak kita kedepan.
Hal kedua yg membuat saya tidak habis pikir adalah ketika Dirjen Dikti mengeluarkan kebijakan bahwa setiap calon sarjana,master dan doktor harus menulis jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Pada dasarnya, menulis jurnal ilmiah adalah bagian dari kewajiban setiap insan intelektual dalam dunia akademik. Namun dengan cara kebijakan yang memaksa dan tidak diimbangi dengan proses perbaikan proses pendidikan di perguruan tinggi secara menyeluruh, kebijakan seperti ini akan menghasilkan budaya yg mengutip kata romo Magnis di Kompas disebut “Jurnal asal-asalan”. Bagi saya yg hanya seorang guru, landasan pemikiran Pak dirjen ini sangat tidak masuk akal karena dengan cara memaksa, kementrian pendidikan ingin calon intelektual ini menulis jurnal karena pemerintah kita merasa malu kalah jumlah jurnal tiap tahun oleh pemerintah malaysia. Saya rasa apa yg dijelaskan oleh romo Magnis dikoran Kompas merefleksikan betapa kebijakan pendidikan kita sangat absurd. Yang perlu kita perbaiki adalah sistem pendidikan kita yang masih feodal. Kita perlu menciptkan suatu proses pendidikan yg bisa menghasilkan siswa yg berpikir kritis bukan sebuah kebijakan yg secara umum menghancurkan nilai paling esensi dalam pendidikan yaitu kejujuran. Dengan kebijakan ini, saya merasa bahwa pendidikan kita semakin hari semakin tidak jelas arahnya. Saya berharap kita tidak akan tersesat lagi dalam banyak hal. Mungkin Inilah resiko yang harus kita terima ketika dunia pendidikan menyatu dengan dunia politik sehingga terjadi kekacauan kebijakan dlm dunia pendidikan.

Tidak ada komentar:

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng