Tidak selamanya kemiskinan itu buruk dan jahat. Ada saat-saatnya ketika kemiskinan itu justru sangat baik untuk diri kita. Mungkin bagi kebanyakan orang, hal yang kukatakan ini sangat aneh dan bertentangan, namun ini adalah cerita tentang loncatan kemiskinan menuju kekayaan. Aku yang dari keluarga miskin atau dapat dikatakan sederhana ini mempunyai beberapa saudara. Salah satu saudara laki-lakiku bernama Ajung. Dia tinggal dikampung tempat kami sekeluarga dilahirkan. Sejak berhenti sekolah dikelas dua SMP, abangku yang satu ini menekuni satu pekerjaan yang sangat berat menurutku, yaitu menjadi penambang emas dan intan. Yang menurut versi pemerintah disebut penambang illegal. Sejak dulu, abangku bekerja mencari intan dan emas, dia pernah menjadi anak buah, orang kepercayan ayahku dan akhirnya saat ini ia memiliki tiga set mesin tambang atau dalam bahasa lokal disebut mesin dompeng. Sejak bertahun-tahun bekerja, abangku dapat dikatakan lumayan berhasil yang bearti pekerjaanya itu cukup meghidupi keluarganya. Dia pun memiliki istri yang cukup rajin menyadap karet milik orangtuaku. Memang, hanya abangku inilah yang tinggal menetap dikampungku itu sekarang. Saya yang masih sekolah dulu, sering tinggal dengan saudara-saudaraku yang lain hingga sekarang. Dulu, ketika abangku ini masih miskin an cukup susah karena pas-pasan, dia baik, tidak rakus dan tidak tamak. Setiap jualan intan walaupun sedikit dia selalu memberitahu mamaku karena tempat ia bekerja adalah tanah ibu kami. Ibuku pun tak pernah meminta ia harus memberi bagian 15 percen (sesuai ketentuan umumnya disini) jika ia hanya mendapat sedikit rejeki. Hampir setiap jualan karet, ibuku tak pernah meminta ataupun bertanya. Ibuku mengerti bahwa mereka dalam keadaan pas-pasan. Memang kuakui, abangku yang satu ini dari kecil dikenal paling “penjahat’ karena perbuatanya. Dialah yang paling sering mencuri uang ayah kami, yang paling sering memboroskan uang ayah. Dia sering mencuri barang dirumah dan bahkan mencuri uang ibuku. Secara singkat dapat dikatakan dia merupakan yang terbandel dan ternekat diantara kami semua.abangku yang dulunya pas-pasan saja, bersikap biasa saja.istrinya juga begitu. Saya ingat persis nama istrinya yang sangat pendek. OLE. Ya itu nama kakak iparku. Dia datang dari sebuah desa bernam monte dan waktu datang tiba-tiba dengan abangku, dia hanya membawa secarik pakaian yang melekat ditubuhnya saja. Memang kita harus kita pahami, seorang yang hanya tamat SD kadang susah untuk diajari. Awalnya dia cukup jahat dengan ibuku dan aku, tetapi seiring waktu dan keadaanya yang pas-pasan, dia pun mulai membaik. Mungkin dapat kukatakan kehidupan keluarga abangku yang inilah yang paling sering dibantu oleh ibuku walupun ia juga tak kaya. Hasil bagian kebun karet yang disadap orang lain selalu di minta abangku langsung keorangnya. Bagian hasil tanah jika ada orang lain bekerja juga diambilnya, pernikahanya dukampungpun boleh dikatakan cukup meriah dengan memotong tiga ekor babi ketika aku kelas enam SD. Dapat kukatakan, ibuku telah all out membantunya dengan sebisanya. Dan tentu bagi kita kebanyakan itu sudah merupakan tanggung jawab orangtua. Dan itulah ibuku. Ia selalu membantu walaupun kadang-kadang ia membutuhkan juga bantuan.
Akhir-akhir ini, mungkin tepatnya sekitar hampir empat bulan. Perubahan drastis menyapa abangku Ajungku ini. Selama empat bulan berturut-turut, Tuhan dan alam sedang bersikap baik terhadapnya. Hampir setiap minggu, abangku memperoleh intan dan emas. Hampir setiap minggu ia bisa menjual rata-rata diatas 50 juta rupiah.Yang mugkin setelah dibagi anak buahnya dia bisa mendapat 30 juta. Dapat dikatakan ia bergaji bersih 20 Juta sebulan. Hampir dua atau tiga kali, saya pernah menyaksikan abangku berjualan intan dirumah. Tiga kali ia berhasil menjual 77,73, 78 juta. Dan yang terbanyak yang saya ketahui adalah berjumlah 93 juta rupiah. Sejak melihat tanah dan hasil penjualan abangku yang berhasil, mamaku mulai meminta haknya yang 15 percen dan tentu itu haknya karena saat ini abangku berhasil. Jika ia tidak berhasil atau hanya berjualan pas-pasan ibuku tak pernah meminta. Saya tak ingat kapan, abangku itu memberi uang pada ibuku hasil penjualan intan, tetapi hasil itu jauh dibawah hasil pembagian yang seharusnya. Ia hanya memberi sesuka hatinya seperti memberi dari milik pribadinya sendiri. Katakan 1,2,3 juta saja. Saya pernah ingat ia berjualan 68 Juta ia hanya memberi 4 Juta (seharusnya 15 percen sekitar 9 juta). Setelah berkali-kali menegurnya, mamaku sampai kewalahan dan kadang menangis melihat abangku yang sekarang tamak dan rakus itu. Lalu akupun menyuruh abangku yang tertua menegurnya. Abangku yang tertua berkata padanya”hak orangtua tetaplah milik orangtua. Jangan diganggu dan terserah mau dia apakan. Mama sudah tua jadi jangan dibuat susah”. Namun ia pun tak mengindahkanya. Dia tetap saja bertindak semau perutnya. Sekarang abangku ini pelit dan yang paling saya tidak sukai tak menghormati ibuku. Dia sekarang membeli rumah yang cukup bagus dan besar dikota. Seingatku sekitar 80an juta dan direnovasinya. Kami bersama kakaku yang pulang dari blora sekarang mengontak sebuah ruko untuk tinggal, tepat disebelah toko bangunan kakaku. Karena toko kakaku sudah penuh dan hanya ada dua kamar. Tentu rumah itu tak lah cukup. Saya, adiku, ibuku, kakaku dan dua anaknya dan beserta suaminya. Ya sekitar berdelapan. Bulan mei ini, kami harus pindah karena sudah habis waktunya. Maka kami pun ingin pindah dirumah abangku ajung ini. Tetapi tak disangka, istrinya menolak kami dan terutama kakaku yang dari blora bersama anaknya. Dan celakanya lagi, abangku ini termasuk suami penurut terhadap istri. Istri berubah jahat dan mendung mukanya jika saya,ibuku,atau kakaku mampir kerumahnya yang direhab itu. Mamaku marah besar terhadap abangku dan istrinya. Mamaku memarah dan menyumpahi abangku dan istrinya. Banyak sekali perkataan ibuku:tak tahu diri, dulu datng bawa sehelai baju, dah beduit dan begigi mulai mau menggigit. Gak sadar dari mana datangya rejeki itu kalau bukan dari tanahku, bagian tanahku pun tak pernah penuh diberi dan banyak lagi. Sampai dalam bahasa kasarnya mamaku melarang abangku bekerja ditanahnya. Saya pun tak bisa mengerti abangku menjadi sedemikian jahat dan tega.bahkan sama ibunya dan saudaranya. Dia malah mengikuti istrinya yang bodoh itu. Memang uang itu kadang merusak. Kekayaan membuat kita congkak dan kejam dan bengis. Setelah dimarah, abangku tentu tak bisa menolak ibuku,aku serta adiku. Tetapi kakaku yang sudah berkeluarga dan sedang susah tadi tidak enak akhirnya mebuat kamar kecil bersama kakaku yang memiliki toko bangunan itu. Hampir setiap hari ketika renovasi, saya mengangkut bahan bangunan dengan mobil untuk rumahnya. Mengangkut triplek,semen,batako, paku cat dll. Namun boleh dikatakan hampir jarang dan sangat jarang sekali setiap jualan ia memberiku uang sekedar 200 ribu rupiah. Ada jika kita meminta. Namun saya paling malu dan jarang meminta. Yang ingin saya katakan, saya tak suka sikap abangku dengan ibuku. Dia tidak sopan dan santun dengan ibuku.ada waktunya ketika nasib berkata lain. Setiap hal yang menyakitkan orangtua pasti adalah imbalanya:KARMA BERLAKU: saya yang muda ini tentu tak masuk hitungan olehnya. Oke saya terima. Kami pun siap pindah ditempat abangku itu. Secara pribadi, saya bersikap masa bodoh dengan istrinya dan dia. Saya cuek saja. Saya dapat satu kamar dan ibuku juga. Saya pingin melihat sampai kapan dia seperti itu. Dalam bahasa kampungku:namus kome nyatuk kakayaane yang bearti sampai dimana sih duitnya itu. Hidup kita ini bukan hanya sehari atau setahun. Jangan terlalu sombong. Setelah cukup sering diomeli dan diingatkan oleh abangku tang paling tua, Ajung masih saja keras kepala dan tetap tamak dan rakus. Pernah suatu hari ia pergi sendiri menjual intanya. Ketika kakaku yang juga ikut bekerja denganya bertanya berapa harga penjualanya, ia mengatakan 65 juta. Jadi menurut cara pembagian untung dari harga beli dari karyawanya sekitar 18 juta. Jadi harus dibagi dua jadi masing-masing 9 juta. Ternyata ia berbohong, dia menjual intanya seharga 76 Juta rupiah karena abangku yang ketiga mengenal pembeli intanya dan menelpon sipembeli. Abangku yang ketiga bernama Anen juga agak kesal terhadapnya.dulunya Ajung belajar melihat intan dari dirinya, tetapi sekarang menyuruhnya menaksir harga intanyapun ia tidak mau. Aku kadang tak mengerti mengapa orang bisa begitu tega ketika sudah berhadapan dengan uang. Uang lebih menimbulkan kejahatan daripada kebaikan. Uang kadang mengandaikan dan bahkan bisa meniadakan hubungan kekeluargaan. Saya marah dengan sikap abangku Ajung. Ketika miskin ia baik, dan kemiskinan membuatnya sadar akan rasa dan keluarga. Tetapi sedikit kekayaan dari tuhan telah membuatnya jatuh dalam godaan setan dan ia terjerembab didalamnya. Aku selalu berdoa iaberhasil dan sadar akan kesalahanya. Aku yang adik ini tak dapat berkata banyak dan hanya mampu menulisnya sebagai ungkapan kemarahan. Semoga ia sembuh dari penyakit tamak dan rakusnya, dan semoga jangan sampai kemiskinan lagi yang membuatnya sadar.
Peace and Love
Kristian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar