Minggu, 30 November 2008

Merengkuh Masa Kecil

Sudah cukup lama saya tak menulis sedikit pun untuk blogku. Pikiran memang tak pernah berhenti, tapi rasa malas mampu mengalahkan saraf otak yang memerintah jari-jari untuk menulis sesuatu.

Hari ini, saya merengkuh masa kecilku ketika saya sedang mencuci baju di sore hari yang hujan lebat. Terbersit di benak ku kenangan masa kecilku ketika saya berhujan-hujan diri dikampung sambil main luncuran dari tanah kuning yang sekarang baru saya sadari betapa bahaya permainan seperti itu sekarang.

Jipratan masa lalu saya kadang membuat saya menikmati suatu momen dimana hiudp benar-benar terasa indah tanpa beban. Rasanya hidup tak pernah ada halanganya. Masa anak-anak adalah masa terbaiku. Mengenang masa-masa ketika hampir tiap hujan saya dan teman-teman sebaya bermain bola di depan rumah yang sudah penuh dengan air. Kami sebenarnya bukan menikmati permainanya, tapi lebih pada sensansi hujan yang dibalut dengan permainan. Sungguh suatu momen yang tak terlupakan.

Jika kulihat kembali teman-teman sepermainaku masa kecil, mereka semua telah berubah dan menuju ke tangga kedewasaan. Mereka semua telah menikah dan siap menghadapi hidup yang keras. Mereka lebih berani dari diriku. Mereka lebih siap didewasakan oleh hidup. Saya harus menggangkat jempol untuk mereka semua.

Ada Krisman yang telah beranak satu, ada Sier yang telah beranak tiga, ada Ulot yang anaknya sudah bisa memanggilnya ayah dan berlari denganya. Mereka semua telah menjawab panggilan hidup mereka sebagai orangtua. Saya tetap mengamati hidup dan terdiam

Love

Selasa, 18 November 2008

Pendidikan itu adalah rahim

Sebagai guru baru dan individu yang tak memahami liku-liku pendidikan, sebenarnya saya tak memiliki kompetensi sedikit pun berbicara tentang pendidikan, khususnya pendidikan Indonesia. Tapi, itulah manusia Indonesia: Mudah menilai. Saya yang tak layak secara keilmuan memaksa diri harus ngomong soal pendidikan karena terpancing beberapa artikel kecil yang saya baca akhir-akhir ini.

Pendidikan itu bagaikan rahim bagi manusia yang dikandung oleh seorang ibu. Rahim itulah yang memungkinkan calon manusia itu benar—benar menjadi manusia seutuhnya. Setiap upaya haram untuk mengagalkan kelangsungan rahim tersebut adalah ancaman langsung bagi kemanusian. Jadi rahim kehidupan sebenarnya adalah pendidikan. Hanya dengan pendidikan (tentu dalam arti luas)hidup manusia akan benar-benar bermakna sebagai manusia. Mungkin Itulah sebabnya mengapa Romo Driyarkara mendefenisikan pendidikan sebagai segala usaha memanusiakan manusia, terutama manusia muda. Karena pendidikan itu seperti rahim, maka pendidikan harus dijaga ekstra hati dan di jaga kesakralanya. Menurutku rahim itu sakral bagi tiap wanita. Maka, manusia yang hidup tanpa mencoba mendidik dirinya sendiri dengan maksimal akan mengurangi derajat kemanusian sendiri. Renungan diatas saya dapatkan dari pembacaan saya terhadap kumpulan esai romo Mudji dalam buku ide pencerahan. Pencerahan merupakan semacam titik balik dimana insan manusia benar-benar menyadari keberadaan dirinya apa adanya dan memampukan dirinya dalam menghadapi zamanya dengan bijaksana(menurutku lho). Maka kelangsungan hidup manusia yang ingin benar-benar menjadi manusia itu tergantung pada rahim pendidikan. Tanpa pendidikan nampaknya sulit mencapai manusia Indonesia seutuhnya.

Ketika berbicara tentang pendidikan dalam arti luas, saya pun terpaksa bertanya pada diri saya, apakah pendidikan terbesar dalam diri kita terjadi disekolah formal kita?Saya rasa tidak. Sekolah itu idealnya bukan tempat pendidikan, sekolah lebih cocok disebut tempat pengajaran. Lihatlah, tugas utama kami guru adalah mentransfer pengetahun ke anak didik. Pendidikan itu terjadi disekolah yang sebenarnya yaitu sekolah kehidupan. Hanya kehidupan yang merupakan guru sejati pendidikan. Romo Drost berpendapat bahwa tugas utama sekolah formal adalah pengajaran. Pendidikan itu kata romo Drost tak pernah formal. Pendidikan adalah proses pemuliaan manusia. Dan pemulian itu dalam masyrakat dan sekolah formal hanya secuil dari bagian itu. Maka saya secara garis besar setuju dengan pendapat romo Drost itu. Maka salahlah asumsi semua orang bahwa yang terjadi disekolah itu pendidikan, yang terjadi adalah pengajaran dengan secuil pendidikan.

Kita, Guru, memahami bahwa pengaruh yang kita berikan kepada murid disekolah itu jauh sedikit dibandingkan apa yang diberikan masyarakat kepada murid kita. Ya...karena memang pendidikan itu terjadi dimasyarakat. Dan sekolah bukanlah tempat inti dari pendidikan. Maka saya setuju lagi dengan pendapat romo Drost bahwa pendidikan moral tidak seharusnya menjadi tanggung jawab sekolah karena itu ranah tanggung jawab keluarga. Maka sebaiknya pelajaran agama sebaiknya ditinjau ulang kehadiranya disekolah


Proses pendidikan itu tak pernah formal kata romo Drost. Pendidikan itu selalu informal karena pendidikan adalah proses pemulia an. Pendidikan terjadi sepanjang manusia menghidupi kemanusianya. Ia terus mendidik dirinya, bereksplorasi dengan realitas diluar dirinya. Pendidik-kan dan pengajaran memiliki kesamaan mendasar: adanya kerelaan manusia untuk menerimanya. Tanpa dengan rela menyerahkan dirinya dalam proses pendidikan dan pengajaran, sulit bagi seorang manusia untuk mencapat titik optimal perkembanganya. Hanya murid yang rela belajar dari kesalahan yang dapat berkembang, hanya guru yang rela dikritik yang dapat menjadi lebih baik.

Love


Kristian

Sabtu, 08 November 2008

Kematian Rasisme

Catatan kecil ini saya tulis sebenarnya terdorong oleh sebuah pertanyaan di sebuah situs stasiun TV terkenal Amerika: Could race derail Obama?
Pertanyaan ini diajukan sebelum terpilihnya Obama sebagai presiden baru Amerika Serikat. Pada waktu itu ditunjukan dalam berbagai polling di Amerika bahwa Obama unggul satu digit dari Mccain. Ya sekitar enam point. Tetapi, enam poin keunggulan bukan merupakan sebuah keistimewaan jika masyarakat Amerika masih mengidap penyakit rasisme.
Di dalam artikel yang berjudul Could race derail Obama, dijelaskan suatu contoh nyata bahwa pada pemilihan gubernur disebuah negara bagian di US terjadi hal yang sebaliknya. Sang kandidat gubernur yang berkulit hitam ternyata kalah dalam pemilihan sementara polling sebelumnya menunjukan keunggulanya. Sama dengan apa yang ditunjukan poling sebelum Obama terpilih.

Kekalahan sang gubernur patut dicurigai sebagai suatu kutukan dari apa yang disebut rasisme. Memang waktu pemilihan gubenur tersebut dilakukan pada era akhir 90an. Jelas dari pelajaran diatas, bahwa Amerika sesungguhnya belumlah sebenarnya bebas dari apa yang disebut rasisme. Menurutku tidaklah mudah membebaskan diri dari suatu cara pandang lama kita dalam melihat sesuatu, termasuk cara pandang orang Amerika terhadap ras dan warna kulit. Kita semua pasti sudah mengetahui bagaimana menderitanya warga kulit hitam diAmerika pada era 1930an sampai dengan 1960an. Penindasan terhadap orang kulit hitam jelas tergambar dari sebuah filem berjudul Something God has made yang saya tonton. Bagaimana Vivien Thomas sang kulit hitam ditindas oleh sistem ras Amerika walaupun ia adalah seorang dokter otodidak yang berbakat. Ia yang bekerja sebagai asisten bedah dokter Alfred Blalock di rumah sakit harus rela menerima gaji sebagai karyawan golongan III yang artinya pekerjaan termasuk golongan para babu kasar, pengepel lantai dan pengurus kantin Rumah Sakit. Vivian Thomas tak berdaya menerima kenyataan itu, dan harus terpasksa keluar dari kenyataan setelah mengetahui bahwa dia digaji sama dengan babu kasar.

Kekerasan yang dialami warga kulit hitam Amerika juga tergambar dengan jelas pada tokoh Margareth pada novel Maya Angello berjudul I know why the caged bird sings.Pada era 30an sampai dengan 60an perlakuan ras sangat menonjol dengan segala bentuk perlakuan . Ada tempat pangkas khusus kulit hitam, kursi bus yang hanya untuk kulit hitam, sekolah yang hanya khusus kulit hitam dan semuanya itu dapat di simpulkan dalam suatu kalimat singkat: Warga kulit hitam sama halnya dengan binatang, dan kadang lebih rendah dari binatang. Masalah rasisme pun tak serta hilang begitu saja ketika Amerika memasuki abad ke 20 atau 21.

Maka judul artikel diatas tidaklah sangat mengherankan bagi saya. Dalam arti sesungguhnya bahwa pada pemilu tahun ini, Amerika sedang menghadap suatu ujian yang benar-benar berat. Apakah Amerika akan lulus dalam ujian rasisme? Seperti kita ketahui bahwa puncak perjuangan kulit hitam mencapai puncaknya pada tahun 1960an dengan tokoh terkenal Martin Luther King Jr yang harus mati tertembak karena perjuanganya. Dengan tertembaknya sang Martir ingin membuktikan bahwa Amerika tak sepenuhnya siap menerima orang kulit hitam.

Hari ini Amerika menunjukan kepada dunia tanda-tanda kematian rasisme di Amerika. Dengan terpilihnya Obama sebagai presiden kulit hitam pertama, Amerika mengirim pesan pada dunia bahwa akar rasisme di Amerika sudah tercabut dan hampir mati di Amerika. Maka mimpi indah yang di katakan Martin Luther king dalam pidatonya yang berjudul ”I have a dream” sudah menjadi kenyataan. Mimpi itu sudah datang sama seperti Obama berkata bahwa ‘Change has come”. Mimpi Luther tentang kesamaan kedudukan antara ras putih dan hitam telah terkabul dan saya harus berkata kepada rakyat amerika “ selamat atas kematian rasisme di Amerika”. Mimpi Luther yang berharap bahwa suatu hari Anak-anaknya dapat bermain dan bercanda dengan anak kulit putih sudah tercapai, Namun Mimpi terbesar Luther belum tercapai sebelum Obama terpilih sebagai presiden.

Terpilihnya Obama sebagai presiden Amerika bukan saja tanda akan adanya perubahan mendasar di dalam sistem politik Amerika tapi juga merupakan sebuah pencapaian puncak dari perjuangan kesamaan ras di Amerika. Saya terharu ketika melihat pejuang ras Jesse Jackson menangis ketika melihat Obama berpidato di Grant Park Chicago, Saya melihat bagaiman Oprah dengan mata bekaca-kaca melihat Obama. Bukankah mereka ini orang yang secara langsung pernah merasakan rasisme di Amerika. Maka pada akhirnya, kita patut bertanya pada diri kita sebagai bangsa Indonesia: Apa yang dapat kita pelajari dari kasus di Amerika? Apakah kita sudah menunjukan tanda-tanda kematian rasisme di Indonesia?

Saya tak mampu menjawabnya.

Love


Kristian

Selasa, 04 November 2008

Zaman Edan


Yang membuat zaman edan itu Ronggowarsito karena Ia yang pertama memperkenalkanya.
Tapi ramalan sang pendekar jawa itu tampaknya benar dan relevan sekali di Jaman kita ini. Banyak ke-edanan manusia yang bisa kita amati:

Zaman Edan sekali:

Ada syeyh yang menikahi gadis yang masih bau kencur
Ada ulama yang dengan bangganya mengatakan apa yang dilakukan Amrozi dkk adalah jihad dan halal dalam sebuah debat.
Ada golongan radikal yang keras dan tak berotak
Ada golongan yang suka pamer ketangguhan seperti masih hidup dijaman purba

Aneh

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng