Sabtu, 08 November 2008

Kematian Rasisme

Catatan kecil ini saya tulis sebenarnya terdorong oleh sebuah pertanyaan di sebuah situs stasiun TV terkenal Amerika: Could race derail Obama?
Pertanyaan ini diajukan sebelum terpilihnya Obama sebagai presiden baru Amerika Serikat. Pada waktu itu ditunjukan dalam berbagai polling di Amerika bahwa Obama unggul satu digit dari Mccain. Ya sekitar enam point. Tetapi, enam poin keunggulan bukan merupakan sebuah keistimewaan jika masyarakat Amerika masih mengidap penyakit rasisme.
Di dalam artikel yang berjudul Could race derail Obama, dijelaskan suatu contoh nyata bahwa pada pemilihan gubernur disebuah negara bagian di US terjadi hal yang sebaliknya. Sang kandidat gubernur yang berkulit hitam ternyata kalah dalam pemilihan sementara polling sebelumnya menunjukan keunggulanya. Sama dengan apa yang ditunjukan poling sebelum Obama terpilih.

Kekalahan sang gubernur patut dicurigai sebagai suatu kutukan dari apa yang disebut rasisme. Memang waktu pemilihan gubenur tersebut dilakukan pada era akhir 90an. Jelas dari pelajaran diatas, bahwa Amerika sesungguhnya belumlah sebenarnya bebas dari apa yang disebut rasisme. Menurutku tidaklah mudah membebaskan diri dari suatu cara pandang lama kita dalam melihat sesuatu, termasuk cara pandang orang Amerika terhadap ras dan warna kulit. Kita semua pasti sudah mengetahui bagaimana menderitanya warga kulit hitam diAmerika pada era 1930an sampai dengan 1960an. Penindasan terhadap orang kulit hitam jelas tergambar dari sebuah filem berjudul Something God has made yang saya tonton. Bagaimana Vivien Thomas sang kulit hitam ditindas oleh sistem ras Amerika walaupun ia adalah seorang dokter otodidak yang berbakat. Ia yang bekerja sebagai asisten bedah dokter Alfred Blalock di rumah sakit harus rela menerima gaji sebagai karyawan golongan III yang artinya pekerjaan termasuk golongan para babu kasar, pengepel lantai dan pengurus kantin Rumah Sakit. Vivian Thomas tak berdaya menerima kenyataan itu, dan harus terpasksa keluar dari kenyataan setelah mengetahui bahwa dia digaji sama dengan babu kasar.

Kekerasan yang dialami warga kulit hitam Amerika juga tergambar dengan jelas pada tokoh Margareth pada novel Maya Angello berjudul I know why the caged bird sings.Pada era 30an sampai dengan 60an perlakuan ras sangat menonjol dengan segala bentuk perlakuan . Ada tempat pangkas khusus kulit hitam, kursi bus yang hanya untuk kulit hitam, sekolah yang hanya khusus kulit hitam dan semuanya itu dapat di simpulkan dalam suatu kalimat singkat: Warga kulit hitam sama halnya dengan binatang, dan kadang lebih rendah dari binatang. Masalah rasisme pun tak serta hilang begitu saja ketika Amerika memasuki abad ke 20 atau 21.

Maka judul artikel diatas tidaklah sangat mengherankan bagi saya. Dalam arti sesungguhnya bahwa pada pemilu tahun ini, Amerika sedang menghadap suatu ujian yang benar-benar berat. Apakah Amerika akan lulus dalam ujian rasisme? Seperti kita ketahui bahwa puncak perjuangan kulit hitam mencapai puncaknya pada tahun 1960an dengan tokoh terkenal Martin Luther King Jr yang harus mati tertembak karena perjuanganya. Dengan tertembaknya sang Martir ingin membuktikan bahwa Amerika tak sepenuhnya siap menerima orang kulit hitam.

Hari ini Amerika menunjukan kepada dunia tanda-tanda kematian rasisme di Amerika. Dengan terpilihnya Obama sebagai presiden kulit hitam pertama, Amerika mengirim pesan pada dunia bahwa akar rasisme di Amerika sudah tercabut dan hampir mati di Amerika. Maka mimpi indah yang di katakan Martin Luther king dalam pidatonya yang berjudul ”I have a dream” sudah menjadi kenyataan. Mimpi itu sudah datang sama seperti Obama berkata bahwa ‘Change has come”. Mimpi Luther tentang kesamaan kedudukan antara ras putih dan hitam telah terkabul dan saya harus berkata kepada rakyat amerika “ selamat atas kematian rasisme di Amerika”. Mimpi Luther yang berharap bahwa suatu hari Anak-anaknya dapat bermain dan bercanda dengan anak kulit putih sudah tercapai, Namun Mimpi terbesar Luther belum tercapai sebelum Obama terpilih sebagai presiden.

Terpilihnya Obama sebagai presiden Amerika bukan saja tanda akan adanya perubahan mendasar di dalam sistem politik Amerika tapi juga merupakan sebuah pencapaian puncak dari perjuangan kesamaan ras di Amerika. Saya terharu ketika melihat pejuang ras Jesse Jackson menangis ketika melihat Obama berpidato di Grant Park Chicago, Saya melihat bagaiman Oprah dengan mata bekaca-kaca melihat Obama. Bukankah mereka ini orang yang secara langsung pernah merasakan rasisme di Amerika. Maka pada akhirnya, kita patut bertanya pada diri kita sebagai bangsa Indonesia: Apa yang dapat kita pelajari dari kasus di Amerika? Apakah kita sudah menunjukan tanda-tanda kematian rasisme di Indonesia?

Saya tak mampu menjawabnya.

Love


Kristian

Tidak ada komentar:

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng