Kota, tentu suatu tempat yang ramai dan dipenuhi orang-orang, dan dikota terdapat pula segala macam keribetan gaya hidup. Tetapi, ingatkah kita bahwa kota pastilah berawal dan berasal dari sebuah kampung yang secara jelas bearti kecil dan tak sepenuhnya terjamah oleh kehidupan moderen. Karena setiap kota berasal dari kampung, maka kampung selalu merupakan sebuah memori dan keberadaan yang selalu berada dibenak setiap kita. Maka tak heranlah kita ketika setiap hari raya ketika banyak orang berkata mereka mau ‘Pulang Kampung’ walaupun sebenarnya dia pulang ke Jogja, Malang, Medan yang sebenarnya bukan kampung, tetapi kota. Maka jelaslah bahwa kampung memiliki sebuah pesona dan kekhasanya sendiri. Maka hal ini jugalah yang terjadi pada saya sendiri- PULANG KAMPUNG untuk natal. Memang harus kuakui, kampungku masihlah sebuah kampung.dikampungku yang bernama SANGKE masih terlihat ciri kekampunganya seperti jalan yang masih tanah kuning, Listrik belum masuk(hanya pribadi pake generator) dan tak setiap keluarga memiliki, jumlah rumah dikampungku pun masih sedikit sekitar 80an saja. Dalam benaku, masih terlihat jelas gambaran kampungku ketika aku masih SMP dan SMA, waktu itu air sungainya jernih, pohon besar masih banyak, orang-orangnya masih polos dan tenggang rasa, ikan masih banyak disungai dan orang masih PENGARI (giliran kerja) dalam membuat ladang atau sawah. Dan hal-hal ini selalu membuatku rindu akan kampungku dimana aku dilahirkan. Kampungku waktu itu ibarat oase dipadang gurun. Kampungku adalah idolaku. Dimasa kecilku, aku selalu pergi mancing dengan kawan-kawan dan ikan sangat mudah didapat. Hidup dikampung waktu itu adalah kemauanku yang sangat kuat.
Setiap tahun aku selalu pulang kampung ketika libur sekolah atau kuliah. Aku selalu ingin tinggal dikampung 3 atau 4 hari untuk menikmati kampung dan aku juga sering mengamati kampungku yang kucinta ini. Tiga hari lalu, tepatya tanggal 24 Desember 2007, sehari sebelum natal, seluruh keluargaku pulang kampung untuk natal. Kami sudah mempersiapkan semuanya untuk natal dikampung- mulai membeli daging ayam dan babi, kue dan smuanya. Dan kamipun tiba dikampung dan kami dirumah dimana aku dilahirkan. Dan kali ini aku melakukan pengamatan yang agak seksama tentang kampungku. Kampungku telah banyak berubah dan hal itu tentu biasa saja karena manusia saja berubah, tetapi kampungku berubah ke arah kehancuran karena tergerus modernisasi yang bablas dan tolol. Biarkan kujelaskan mengapa kukatakan demikian. Kampungku yang dulunya banyak kayu dan hutan lebat kini telah tergusur habis oleh perkebunan kelapa sawit yang tolol, warga juga dengan murah dan mudah menjual kayu perbatang pada cukong dengan begitu murah. Maka gundulah kampungku, habislah kayu, dan rusaklah alam kampungku. Mungkin karena orang dikampungku bodoh atau mata duitan sehingga dengan murah menjual kayu dan lahan pada cukong dan perkebunan sawit yang meghisap bagai lintah. Sungai kampungku sudah begitu kotor dan kuning hingga airnya pun tak layak untuk mandi apalagi untuk diminum. Sungaiku rusak karena ulah penambang emas dan intan yang rakus dan lebih jahanam lagi mengunakan mercuri dalam mencari emas. Maka sungaiku sudah hancur total dan ikanpun punah karena habitatnya telah hancur. Maka tak heranlah aku ketika memancing dipagi hari tak satupun ikan memakan umpan pancingku dan kampungku memang sudah payah. Maka ada baiknya kita melihat sisi lain dari kehancuran kampungku. Tidak hanya alamnya saja yang sudah hancur, manusianya dan SDM kampungku pun telah hancur karena modernisasi bablas karena Hantaman Modernisasi TV. Entah aku harus ketawa atau menagis dengan adanya TV di hampir setiap rumah dikampung,karena TV telah banyak merubah gaya hidup dikampungku. Anak-anak sudah bisa berbusana sexy yang wah seperti disinetron, merokok dengan bangga, dan meja biliar pun tersedia untuk bermain judi. Dari tua sampai muda hobi berjudi. Maka kampungku mulai menggali kuburanya sendiri. Dan hal yang paling merusak anak muda dan remaja dikampungku adalah minuman keras- arak- karena hampir tiap malam remaja membeli arak dari hasil kerja untuk pesta pesta sampai mabuk. Maka arak sudah menjadi air putih dan itu menakutkan bagiku yang tak suka minuman keras dan aku percaya itu merusak mental mereka. Maka tak heranlah kampungku tambah mundur. Mereka tak mau sekolah tamat SD pun dan mereka sibuk nyadap karet dan gali tanah untuk cari emas. Maka hancurlah generasi kampungku yang mayoritas suku asli KalBar yaitu DAYAK. ADUH ....MALANGYAN NASIBMU KAMPUNGKU. Maka akupun sedih dan tak berdaya melihat kampungku yang sedang menjemput mautnya sendiri. Sekarang dikampungku, egoisme adalah hal yang paling berkembang, HP adalah hal yang utama yang menjadi prioritas gaya hidup walaupun sebenarnya mereka masih susah mencari makan untuk tiap harinya. Maka benarlah jargon gaya hidup sekarang yang berkata “ aku ada karena aku bergaya” maka identitas dan keberadaan seseorang hanya ada jika ia hidup bergaya. Semua hal yang berbau lama, selalu dicap tak bergaya. Maka bergaya sama juga bearti meniggalkan yang lama. Dan kampungku sedang digerus oleh westernisasi dan globalisasi bablas. Maka layakah ‘Kampung” tetap bernama kampung? Atau ada nama lain bagi tempat yang masih memelihara kekhasanya dan kesederhanaanya ditengah gaya hidup yang semakin edan? Saya tak bisa menjawabnya. Maka mulai saat ini saya sedih dan cemas dengan BORNEO ini, saya cemas akan generasinya yang memble dan melempem, saya cemas ketika melihat semakin banyak kafe-kafe plus prostitusi dipinggir jalan raya, saya cemas melihat gadis-gadis muda menjual diri tanpa sadar akan bahaya penyakit yang mengancam mereka. Mereka hanya perduli pada satu kata: UANG dan tak paham akan pentingya memahami dan mengakui dunia kita ini. Dan proses itu haruslah terus berlanjut.
Peace and Love
Kristian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar