Senin, 31 Maret 2008

Reading two blogs: Reaching dreams

Coincidentally, this afternoon I came across two my former lecturers’ blogs. These two former lecturers taught me when I was studying at Sanata Dharma University Jogjakarta. They are Mr. Markus and Ms. Indrianti, and frankly speaking, both of them are intelligent. At the very first time, I read Mr. Markus’ blog. His blog is interesting for me in terms of his stories in dealing with life. It clearly tells to me how he started his college at USD, graduated and taught at his almameter and got a master scholarship at Boston University in the US in 2001. Mr. Markus’ blog inspires me in struggling to get scholarships as he did. In the blog, he also expressed his happiness coz starting September 2007; he will be studying in the US again to get a PhD degree at Loyola University Chicago. Mr. Markus, once again, gets another scholarship and this time is as a result of Jesuit Universities cooperation. There is only one problem which bothers Mr. Markus this time, which is his family. He tries to bring along his families with him. I hope he can do that. The second blog is Ms. Indrianti’s Blog. Ms. Indri is a young lecturer when I was at USD, she maybe 25 years old. Unlike Mr. Markus who has reached the age of 34 years old. In her blog, Ms. Indri tells me her stories when she became a teaching assistant at The University of Hawaii at Manoa in the US. She wrote about the beauty of Hawaiian beaches, climates and of course her first time snowy day. She said that her experiences staying in the US for a year would be unforgettable. She visited most of US biggest cities such as New York, San Francisco, Boston, Hawaii and some other cities. What an experience to be there. She really enjoyed every bit of time in the US. And moreover, she will be doing the same things this year coz she gets another scholarship to pursue her master degree at Boston University. What a grace. Having been reading these two blogs, I began to dream to go to the US too. I want to see a paradise island and I think I have decided to make ‘going to the US’ as one of my wildest dreams. Someday, if I have enough money, I want to have a vacation in the US. Reading the two blogs also tells me that life is never easy. Mr. Markus and Bu Indri fought hard to get the scholarship and finally they got it. Life is hard, and therefore more efforts are needed. I hope someday I can be like one of my two former lecturers.


Peace



Kristian

Writing to Learn, Modernism, Reflective Life

Previously, in one of my blog writings, I have mentioned one of the characteristics of being modern is being reflective in life. Reflection makes us modern. That is the connection between modernism and reflective as the title suggests. To be reflective in living life means doing a kind of reevaluation or a reflection on things that we have done so far in our life. Such reflection requires several steps or methods. In reflecting our past actions, we need to undergo a process of reanalyzing our actions meaning that we see much deeper our actions by basing on ‘beneficial and unbeneficial’ rules. Were our actions beneficial or unbeneficial for us and others? But, I am not going to talk about the rules further since I have not known them very well and I even don’t know where to start writing when writing this scratch for my blog. I think it is better for me to strike to the point right away.
Different people do different ways in being reflective in their life. There are a lot of ways to being so such as doing a kind of meditation, contemplation and etc. but, as we all do agree, there is a common way to become reflective in our life and so many people do it in a daily basis. The way is writing. Undeniably, writing is one of the most effective ways in becoming reflective. Many great people decide to choose writing as a means of reflecting the values of their life or even the life itself. Through writing, they can improve and even achieve their best performance in their life. Let’s take a look at some examples like Elie Wiesel, Henry JM Neuwen, or Indonesia; we have our beloved author Pramoedya Ananta Toer. These people choose the path of writing to reflect their lives and it has impacted or influenced a lot people. So, it is clear that writing has a very strong power for people if they want to use it as a means of reflection. But, that’s not the end of the problem. Say that everyone can choose writing be their path in becoming modern in their life, but writing is not an easy path to go through. It takes much than we have ever thought. To write on a daily basis and to write well are a tough job for me and maybe for everyone. Lay men can easily say that to write is as simply as putting words on papers. But even so, writing is not easy. To write something for me takes much energy since I am not used to writing before. In high school, I did not even have a diary or whatsoever which trained me to write. Frankly speaking, I hate writing and this writing is a kind of such expression. Now, for me writing short posting like this have two important advantages. Firstly, by writing like this, I can learn to write better and to be reflective in my life. There is no other way in learning to write except by writing itself. Second, writing continuously makes me at the same learn how hard it is to write. So it not only makes me be better in writing, it also teaches the hardship of writing. In short, it teaches me to be patient. Sometimes, when I am stuck, typing a word in a computer is like baby taking his first deep breath. So hard to do. So, that’s why I don’t really care when people say that my writing is messy and not worthy to be posted since it is my practice of learning. It is just a phase guys. I have regretted my lack of reading in my life that ideas don’t come easily in my mind. Above all, one thing for sure, I will keep writing and learning to write and writing to learn.


Peace and Love

Kristian

Tuhan dan Penguasa

Hari Minggu datang lagi pagi ini, saatnya pergi kegereja untuk sujud dan mohon ampun pada gusti Yesus. Aku datang mohon ampun pada gustiku yang terkasih atas semua dosa-doasku dan semua kesalahanku. Kadang, ada waktunya hatiku tak tertuju pada gustiku yang agung itu,pikiranku melayang dan mengembara entah dimana. Yang pasti cukup aku sering aku tidak berada digereja walupun memang aku disana. Maksudku pikiran dan hatiku kawan. Namun, memang benar apa kata para orang suci sana, bahwa otak bukanlah tempat yang baik untu berdoa. Pikiran hanya tumpuan awal, lalu hatilah yang lebih cocok untuk doa yang berkualitas. Pagi ini, aku duduk di sebelah paling kanan gereja, aku duduk tepat di kursi barisan tengah. Aku melihat kursinya dengan seksama dan kagum akan keindahan dan ketahanan kursi tersebut. Tak lama kemudian, mataku terarah pada mahluk tuhan yang paling beruntung yaitu Manusia. Aku melihat banyak orang datang dan biasanya mataku tertuju pada para wanita yang cantik dan bersolek seolah bersiap untuk pergi ke wedding party atau kadang ada yang siap ke diskotik. Para wanita cantik pun datang,mereka duduk dan kadang melempar senyum manis kesegala arah. Ah..wanita kadang memang sangat mempesona. Aku mengenal beberapa wajah wanita wanita itu, ada temanku, guruku dulu dan bahkan muridku sekarang. Setelah merasa cukup melihat-lihat, aku berlutut dan berdoa untuk ibuku, saudara-saudariku dan untuku sendiri dan waktu kutulis tulisan ini aku sadar bahwa aku dalam berdoa saja bisa begitu egois. Berdoa kok cuma untuk keluarganya saja, kok ngak untuk teman atau bahkan musuh atau orang gila yang sering kulihat melintas didepan rumah. Setelah berdoa, kembali mataku menerawang dan saat itu mataku tertuju pada sebuah kursi panjang yang berada dibagian terdepan gereja yang letaknya tepat menghadap altar untuk pastor yang memimpin misa. Memang sejak pertama pulang dikotaku ini, setiap aku kegereja kursi panjang depan itu selalu kosong. Banyak umat yang datang, tapi tak satupun umat atau anak-anak yang duduk dikursi itu.sebenarnya minggu ini bukanlah pertama kali saya melihat hal semacam ini. Tapi seringkali saya tak memperhatikan dan bersikap tak peduli sepanjang saya mendapat tempat duduk. Dalam hanya beberapa menit, geraja katholik ini pun tampak penuh dan mulai ramai, ada yang datang dan melihat dimana gerangan ada tempat kosong untuk duduk. Tiba-tiba, datanglah empat orang yang tampaknya kaya dan bahkan sangat kaya dan bukan tampak saja tetapi memang kaya He. Mereka dengan santai berjalan dijalur tengah dan dengan senyum duduk ditempat terdepan yang dikosongkan dari tadi. Tahukah kamu siapa mereka itu kawanku? Oh...saya memang bodoh mereka itukan Bupati beserta istri dan dua anaknya. Ah... memang saya bodoh tak mengerti hal seperti ini. Bukankah penguasa memang ada untuk berkuasa, bukankah kata penguasa hadir disetiap aspek hidup kita dan bahkan digereja pun penguasa tetap mendapat privelese yang sedemikian rupa. Dirumah tuhanpun penguasa berkuasa, apalagi dikantornya yang megah itu dipasti lebih berkuasa. Bagaimana tidak, dirumah tuhan saja dia ada kuasa, apalagi dikantornay. Maka, rakyat tidak akan pernah dipandangnya. Saya, yang tak berkuasa ini, tah karena iri atau cemburu merasa tak senang dengan hal itu. Saya merasa tuhan tak adil dengan saya. Bukankah dimata tuhan kita sama, lalu mengapa sang penguasa tersebut dapat tempat istimewa. Mungkin saya sebaiknya bertanya pada pastor parokinya. Mengapa hal tersebut terjadi dirumah tuhan. Memang enak sekali menjadi penguasa karena hak tuhan pun akan dikuasai.pernah aku melihat ada orang awam yang duduk disitu dan mereka pun diminta pindah oleh orang yang mengatur misa. Makanya, mulai sekarang saya harus berusaha menjadi penguasa biar bisa seperti penguasa itu. Ah…saya bermimpi kali, saya tak berbakat dan tak layak jadi penguasa, dan seandainya saya berkuasa, saya juga akan berkuasa dirumah tuhan. Saya tak akan memandang tuhan. Saya hanya berharap jika ada manusia dari generasiku yang berkuasa nanti tak berkuasa seperti penguasa itu atau aku nanti. Jika Yesus ada dalam gereja tersebut, aku tak tahu apa yang dilakukanya? Mungkin dia hanya tersenyum melihat umatnya yang seperti aku dan penguasa itu. Aku yang umat biasa ini menarawang entah kemana dan penguasa itu berkuasa dirumah tuhan seperti dikantornya.

Peace

Kristian

Minggu, 16 Maret 2008

Mother’s Love: My Question

Hari ini, tepatnya Jum’at 14 Maret 2008, adalah hari yang pendek bagiku dan kebanyakan orang, terutama bagiku yang seorang guru ini. Waktu belajar dan mengajar disekolah begitu pendek dan tepat puku 10.30 tepat adalah waktunya bagi kami, para guru untuk pulang. Namun, bukanlah hari yang pendek yang menyentuhku hari ini. Tetapi ada esensi lain yang menyentuh hatiku hari ini, ada hal yang begitu menyakitkan dan menohok dalam diriku dan mugkin semua orang. Inilah asal muasal judul cerita diatas:
Saya dan mungkin kita semua hapal dan pernah mendengar sebuah lagu yang sepenggal liriknya seperti ini:

Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menerangi dunia

Ya, saya yakin kita semua pernah dan tahu lagu ini. Lagu ini mengambarkan bagaimana kasih ibu terhadap anak-anaknya. Kasih ibu itu tetap teguh, tak lekang oleh jaman, tak kan hilang walaupun dunia hancur dan kasih itu tetap ada bagi anaknya. Kasih ibu itu unconditional. Oleh sebab itu mereka disebut IBU. Maka, gelar IBU itu bukanlah suatu hal yang gampang. Saya, yang tak pernah menjadi ibu(karena saya laki-laki) percaya dan memahami bahwa tugas ibulah yang lebih berat dalam sebuah keluarga dibanding ayah. Hal ini saya katakan bukan untuk mendeskreditkan kaum ayah, tetapi ini saya katakan berdasarkan pengalamanku sendiri sebagai anak.

Sekitar jam 11.30 setelah main internet sekitar satu jam, aku dan satu teman guru lainya memutuskan pulang walupun tampaknya hari belum mengijinkan kami dengan menunjukan kemarahanya atau kesedihan( aku pun tak tahu) dengan hujan rintik yang tak berhenti sejak pagi. Diringi hujan yang rintik, kecil tetapi pasti, kami pulang dengan sepeda motor. Setelah mengantar teman guruku yang satu itu, akupun bergegas pulang karena terpanggil oleh dua hal; pertama aku terpanggil karena lapar. Kedua aku tergesa-gesa karena memang hujan. Sesampai dirumah, aku melakukan hal pertama setiap pulang dari mengajar aku lakukan yaitu membuka lemari sayur yang pada waktu itu tampak tak mengairahkan. Jadi aku pun termenung dan berpikir untuk pergi tempat warung didepan rumah kakaku. Namun, sebelum sempat keluar rumah, aku menyempatkan diri masuk kamar untuk menaruh dompetku dan kunci motor di sebuah box kecil. Tepat pada saat itu, TV sedang menyala dan sang news reader sedang menyampaikan berita tentang seorang IBU yang tega membunuh dua anak kandungnya karena(tentu menurut ibu GILA ini) alasan ekonomi. Aku tertegun didepan TV, terdiam. Ibu itu meracuni kedua anaknya yang darah dagingnya, yang dlahirkanya, yang dibesarkan untuk(yang menurut ibu GILA ini lagi)mengakhiri penderitaan kedua anaknya tersebut. Memang hal gila seperti ini bukanlah hal yang baru dan absurd dinegeri yang memang sakit parah dan merana ini. Tapi untuk kesekian kalinya hal ini mengusik diriku tentang esensi dan arti seorang IBU dan KASIH IBU. Melihat perangai seorang ibu yang demikian kejam dan begisnya terhadap anaknya, saya mulai menjadi skeptis tentang kasih ibu(yang tentunya kandung dalam lagu tersebut) sekarang ini. Saya mulai bertanya ‘ masihkan kasih ibu akan tetap seperti lagu diatas? Masihkan “ibu” yang meracuni anaknya tersebut layak disebut IBU? Atau barangkali kasih ibu itu berubah sesuai dengan pergerakan modernisasi seperti pergantian model HP? Adakah batasan-batasan atau kriteria yang menjadikan seorang layak disebut IBU? Mungkin jawaban-jawaban akan pertanyaan itu cukup sulit dicari jawaban yang pasti. Tetapi ada satu yang pasti: Kasih IBU sudah mulai berubah!!seperti kepada dua anak yang malang itu. Aku sedih melihatmu mendapat ibu yang tak berkasih dan tak keibuan. Saya bahkan tak bisa berpikir bagiamana bisa dia meracuni anak-anaknya yang dengan taruhan nyawa dilahirkanya sehingga ada kehidupan baru didunia ini. Menurutku, ibu seperti bukanlah ibu. Ia bahkan tak layak disebut binatang karena binatang saja empati dan mengasihi anak-anaknya. Mungkin ibu ini derajatnya ada dibawah binatang.

Namun bagi diriku yang beruntung ini, kasih ibuku tetaplah seperti pohon Felicium yang menaungi dan melindungi sepuluh anak muda dalam novel Laskar Pelangi Andrea Hirata atau ibarat pastor Maximialano Kolbe yang rela mati untuk mengantikkan seorang bapak di kamp Ausctwitch. Bagiku, ibukulah yang terbaik dan bagi setiap anak yang dilahirkan, ibu mereka adalah pahlawan mereka yang pertama dikenal. Pernah, suatu ketika aku membaca artikel Samuel Mulya, penulis kolom hiburan kompas, bahwa ibu tiri dan ibu kandung bukanlah suatu dikotomi atau kondraktif. Banyak sekali anak yang dikasihi ibu tirinya dengan cinta tulus dan mencintai ibu mereka dengan segenap hati. Maka oleh sebab itu, kita memperingati hanya satu hari ibu. Suatu hari khusus untuk ibu. Tidak ada hari ibu tiri atau ibu kandung sedunia. Mungkin, dalam kasus diatas, seorang ibu tiripun tak akan melakukan hal sekeji itu. Maka saya percaya ada ibu tiri yang mencintai dengan tulus. Maka bagi kita yang beruntung mendapatkan kasih ibu yang tulus, kita mesti belajar setiap hari bagimana menghargai ibu kita(baik tiri maupun kandung). Menurutku ada benarnya pepatah yang mengatakan “surga terletak dibawah ditelapak kaki ibu”



Peace and Love



Kristian

Selasa, 11 Maret 2008

Death

In today’s world, not everyone is ready when it comes to talk about the subject of Death. Death may be the least talked topic in our daily conversations in our life. Then, a question may arise, why do people feel reluctant to talk about death? Honestly, each of us is faced with fear when we begin to talk about the topic of death. We fear death because naturally we don’t accept death as part of our life. We would not choose death, if death were a choice. But, as human beings, we must comprehend that death is an unavoidable part of our existence and our life. As Buddha said “nothing is certain in this world but death itself” so it clear that death is becoming a must thing to face. Since people fear death, people in our community try to taboo the word death itself and thus it becomes a kind of myth that shouldn’t be discussed. In Buddhism, death is a part of human natural processes and it is one of the four noble truths in their belief. In Christianity, death is the payment of our sin as said by Jesus that since human are sinful, death is the payment. Now, we know that we must face death and then another question comes up ‘how should we view death’? It is my and other belief that we must make death one of our closest friends. So that when our time has come to say “welcome or good bye” to death, we will be much readier and stronger. If we see death positively, death can be supporting factors in our life. It teaches us not to waste our life, it can also teach us not to be greedy and arrogant since, if we realize, when the times comes, death will take everything and nothing is left behind. I have read a book on how a person facing his death because he suffered brain cancer. He was a Buddhist and he was also a meditator. In the story, he greeted death like welcoming his beautiful bride. No sadness, no worry since everything is prepared like weeding ceremony. And I think, we all must be like that and be ready like bride or bridegroom in a weeding. It is normal for me if we tell our sons or daughter on what ways we want to bury and what should be done on our corpse. Every one of us must or need to imagine what our body will look like when we are dead, we must visualize that situation and maybe we can learn something from it. Finally, we are aware that death is a birthday gift for us because death’s presence is coming to world when we are born.


Peace and Love

Kristian

Senin, 10 Maret 2008

Dua Warung Identitas

Kawanku, tentu engkau sudah tahu apa yang disebut warung. Maka sama sepertimu, aku pun tentu sudah mengerti dan hari ini aku ingin menceritakan tentang dua warung yang entah menarik atau tidak untukmu. Maka ijinkanlah aku menulis tentang dua warung itu.
Kawanku, tepat didepan rumah kakaku, dimana aku tinggal, terdapat dua warung makan yang tentu tiap hari sibuk menjual makanan yang mereka masak. Jaraknya tidak lebih dari delapan meter dari rumahku karena hanya dibatasi jalan raya ngabang. Warung pertama yang baru saja memulai usaha warungnya enam bulan lalu adalah milik seorang koko, begitu aku biasa memanggilnya, berasal dari singkawang. Diwarung koko ini kita dan saya terutama biasa membeli mie pangsit, mie goreng dan cap cai serta masakan cina lainya. Menurutku masakan koko ini lumayan enak dan menu paling saya suka adalah mie gorengnya. What a perfect combination of spices!. Pada awalnya koko ini tidak menjual makanan yang dicampur daging babi dan saya paham sekali dari tulisan halal yang terpampang jelas di tempat dia menyimpan dagingya. Sekarang mari kita meilhat pada warung kedua, warung ini menjual nasi uduk yang menurutku enak dan memiliki kekuatan pada sambalnya yang wah sekali dan nasinya lembut karena dikukus atau diuduk(makanya disebut nasi uduk).saya juga sering makan disini dan apalagi abang saya yang dari kampung. Setiap dari kampung abangku selalu makan nasi uduk dan memesan beberapa bungkus untuk keluarganya. Pemilik warung ini namanya Nila, yang tentu aku kenal karena dia berasal dari desa Mungguk tempat dimana aku sekolah SD dulu waktu menumpang ditempat abangku yang jadi mualaf. Nila orangnya baik dan ramah dan dia juga dekat dengan kakaku karena memang kita bertetangga dan kenal. Tentu kedua warung ini masing-masing memilki tempat tersendiri dalam perutku ketika melakukan pertimbangan dalam hal membeli makan tetapi itu bukanlah persoalan yang ingin kamu ketahui kawanku. Maka baiklah kawanku, inilah yang saya ingin katakan. Sekitar dua minggu lalu, entah dirasuki strategis bisnis apa, sikoko mulai menjual menu baru dalam warungnya yaitu nasi campur yang dalamnya terdapat daging babi yang tentu halal bagiku. Tadi malam, aku pergi kewarung koko dan ingin membeli nasi goreng pada mulanya, tetapi karena mie kuningya sudah habis, saya mulai melihat-lihat yang lainya dan rupanya mereka ada menu baru yaitu nasi campur. Tetapi tanpa sengaja aku melihat ada perbedaan tata ruang diantara kedua warung itu sekarang. Tepat diantara warung itu dipasang triplek yang dipaku dengan kuat. Aku mulai binggung kenapa mesti dipisah dan aku bertanya pada kokonya. Menurutnya supaya aroma masakan babinya tidak sampai kewarung ibu Nila maka dibuatlah sekat pembatas itu dan saya tidak tahu atas inisiatif siapa. Mungkin keduanya atau hanya salah satu pihak saja. Sambil makan aku mulai berpikir tentang cara menhadapi perbedaan yang tampak pada tataran kulitnya saja. Tampak dangkal dan tak dewasa. Bukankan udara bisa lewat mana saja dan sebegitu takutkan dan parahkah hal itu. Saya pernah makan dalam masyarakat yang tentu anda dan saya setuju mereka lebih islami. Pada suatu waktu saya dan sekolpok teman makan di Kuching, Serawak Malaysia disebuah warung cina. Disitu terdapat banyak makanan. Pojok makanan diwarung itu dibagi dua yaitu muslim food and non muslim food. Dan saya melihat banyak orang berjilbab yang makan disitu. Mereka tak curiga dengan pemilik warungnya atau takut makan karena penjualnya seorang cina. Karena mereka percaya pada kejujuran sikokinya dan bukankah ketika mereka menipu kita dengan makanan tak halal mereka yang berdosa. Maka menututku disini kita perlu memiliki kedewasaan dalm memandang identitas dan ras seseorng tidak selalu melekat dengan identitas dan ideologi tertentu dan untuk itulah kita perlu melakukan telaah yang dalam tentang sesuatu. Menurutku, hanya keterbukaan kita pada identitas baru yang dapat membuka dan menciptakan pemahaman atau paradigma baru. Hal ini juga berlaku pada cara kita memandang agama yang tak sepham dengan kita. Hanya dengan mempelajari agama tersebut dengan dalam barulah kita paham dan dapat menilai dan memahami dengan objektif. Dan ingat tidak ada yang absolut didunia ini kecauli tuhan, maka jangan mengklaim diri. Dan tentu mempelajari jauh berbeda dengan menganutnya dan itu tentu tidak sama.Maka sampailah pada kesimpulan tentang kedua warung itu. Warung-warung itu adalah dua identitas dan oleh sebab itu warung-warung itu adalah dua warung identitas. Tetapi identitas bagi keduanya tidak dibicarakan tetapi dilakukan.




Peace and Love




Kristian

The Cost of Living in a Small City

Upon graduating from Sanata Dharma University for two years, now I begin thinking of getting a scholarship to pursue a higher level of education. These few weeks, I have been quite intense in looking for information concerning scholarships in the internet. After reading and jotting down the information I got from the net, I finally came to a final conclusion of how to get a scholarship, that is, I must have a valid TOEFL or IELTS score, which in fact, I don’t have at the moment. To get better ideas about IELTS or TOEFL, I decided to ask my former lecturer, Mr. Barli, by emailing him, about the place where I can get such a test. After getting his answer, I know that there are only several cities which hold IELTS regularly; there are Jakarta, Bali, Surabaya, Semarang and some other off sites venues. Having known such cities, I complained within my heart, how on earth can I go to one of these cities just to have IELTS test? If I go to one of the cities, it will take money, energy and time. But my sole problem is the money. Only for the test fee, I have to pay $150 and around $25 additional fee. The fee mentioned has not covered my accommodation, ticket fare and food. I am quite confused now. As far as I know, every scholarship requires its candidates to submit a TOEFL or IELTS test results as its must requirements. Oh…I am in a bad mood. This year, I hope I can save some money to pay the test fee and be able to compete in the scholarship competition. This hardship is a form of risk living in small cities which will cause lack of information and it will lead to stupidity and lost opportunity. Were I rich, such a case would not be a problem. There some things which I hate from small cities; first, they do not have international test centers such as British Council and IALF. Second, small cities have not internet connection but Dial Up connection, which is very slow and sometimes, can make you die of boredom of waiting. My advice is to bring two cups of coffee when browsing the net since its speed is only 56 Kbps. Third, they do not have good newspapers and books. In my city, no bookstores are available, no Kompas is sold. So that is why sometimes, it is boring here.

Peace and Love



Kristian

Father Fritz Budmiger: A True Dedication

Last week, to be exact on Saturday, I went to a ‘retreat’ place called ‘Tabor’ in Bodok, West Borneo, to supervise our students. They were 80 students along with six teachers as their supervisors, including me. I had never been to Tabor before though it is not far. So it was my first visit. Tabor is a catholic retreat place. It was built and is run by a Swiss father. In Tabor, I met such an inspiring person, that is, Father Fritz Budmiger. He is a Swiss catholic priest in the parish called Pusat Damai (Centre of Peace). Seeing what he has done to the community, I could say that he is a great catholic father with wisdom. There are several reasons of why I can call him so. First, Father Fritz has spent half of his life serving the community as the parish pastor for more than thirty years. What a time. How on earth do I know that! I surf the net and found that father Fritz came to Borneo in 1975 with some other Swiss missionaries. It is not easy job for a totally new Swiss guy to work among new people since he is a Swiss. I admire his spirit of ministry. Second, Father Fritz has done tremendous development to the community. He has built a big church, schools from Kindergarten to Senior High School, a retreat place and, boarding houses, and one more thing which I truly admire is that he founded a ‘people own bank’ or Credit Union. In my opinion, His credit union has done such a great help for the local people. It teaches local people how to spend money wisely and it empowers the surrounding. If I am not mistaken, the Lantang Tipo credit union is now run by local people, Father Fritz now is only a board adviser in the credit union. Return to the retreat house, it is a beautifully designed place. The former location of the house was actually the land for cemetery. But Father decided to buy the land and built the land. The retreat house is nice. It has good facilities and hydrant system. Its hydrant system really made me speechless. It seems that Father Fritz really understands how to use technologies in meeting the standard in his native country. He also provides in every corner of his retreat house with trash bins. When I arrived there, and Father Fritz himself showed us our rooms, he looked very busy and in fact, he is never not busy said his master chef. He is so hard-working though freckles in his forehead clearly told us that he is no longer young. He is a sixty year old capuchin. Nowadays, it is like finding needles in the pile of trash in looking for person who has true dedication like Father Fritz. For me, Father Fritz is an example of true dedication and he teaches us to be sincere in our ministry without losing integrity. He is strict and disciplined. Based on some stories from people who have known and lived with him, Father Fritz is also a computer expert, he knows how to make program for the credit union and fix the computer. Father Fritz is also a bookworm; he has provided a lot of books in every retreat room ranging from English books to Indonesian, Dutch, German and Latin books. I read some of the books in the room, one of which is the book written by Leonardo boff which talks about The Prayer of St. Francis. I hope someday I can be like father Fritz Budmiger who dedicates his life to serve the needy community and empower others.

Love



Kristian

Sabtu, 08 Maret 2008

Got it late!!!

some of you who have read and bought the book may say that 'You're late Kristian,and we have read the four series of the books'. But it's ok for me. Yesterday, when I was going home from school after browsing the net, I stopped by at a stationary shop to read newspapers as i always do(I don't need to buy newspapers). I directly took the papers hanging in the front part of the shop and sat on a chair for a quite long time. After a few minutes later, i finished reading the papers and started to look for magazines and tabloids in books and magazines section.coincidentelly, I saw a book which I have been looking for several months and i haven't read the book yet. The book is a novel written by a newcomer in Indonesia Literature, that is, Andrea Hirata, his book title is 'Laskar Pelangi'. This book has got a lot of praises and comments from indonesian writers and it is one of the last year best-seller books. I bought the book and its price is 35 thousands rupiah or around $3. I have got it for two days and have read it until page 105. For the moment, i can say the book is superb and nicely written. It contains a lot of methapors and satirical lines concerning the country. the book, to some extent, really inspires me a teacher and a student as well. it teaches me that education is not a choice but a must have thing. It shows me the real meaning of sincerity and i know it will give me much more as i continue reading it. So, Do i get it late!! or What, i don't really give a damn about it. The most important thing is i have got it and it's time to chew it.


Love and Peace


Kristian

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng