Hari ini, tepatnya Jum’at 14 Maret 2008, adalah hari yang pendek bagiku dan kebanyakan orang, terutama bagiku yang seorang guru ini. Waktu belajar dan mengajar disekolah begitu pendek dan tepat puku 10.30 tepat adalah waktunya bagi kami, para guru untuk pulang. Namun, bukanlah hari yang pendek yang menyentuhku hari ini. Tetapi ada esensi lain yang menyentuh hatiku hari ini, ada hal yang begitu menyakitkan dan menohok dalam diriku dan mugkin semua orang. Inilah asal muasal judul cerita diatas:
Saya dan mungkin kita semua hapal dan pernah mendengar sebuah lagu yang sepenggal liriknya seperti ini:
Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menerangi dunia
Ya, saya yakin kita semua pernah dan tahu lagu ini. Lagu ini mengambarkan bagaimana kasih ibu terhadap anak-anaknya. Kasih ibu itu tetap teguh, tak lekang oleh jaman, tak kan hilang walaupun dunia hancur dan kasih itu tetap ada bagi anaknya. Kasih ibu itu unconditional. Oleh sebab itu mereka disebut IBU. Maka, gelar IBU itu bukanlah suatu hal yang gampang. Saya, yang tak pernah menjadi ibu(karena saya laki-laki) percaya dan memahami bahwa tugas ibulah yang lebih berat dalam sebuah keluarga dibanding ayah. Hal ini saya katakan bukan untuk mendeskreditkan kaum ayah, tetapi ini saya katakan berdasarkan pengalamanku sendiri sebagai anak.
Sekitar jam 11.30 setelah main internet sekitar satu jam, aku dan satu teman guru lainya memutuskan pulang walupun tampaknya hari belum mengijinkan kami dengan menunjukan kemarahanya atau kesedihan( aku pun tak tahu) dengan hujan rintik yang tak berhenti sejak pagi. Diringi hujan yang rintik, kecil tetapi pasti, kami pulang dengan sepeda motor. Setelah mengantar teman guruku yang satu itu, akupun bergegas pulang karena terpanggil oleh dua hal; pertama aku terpanggil karena lapar. Kedua aku tergesa-gesa karena memang hujan. Sesampai dirumah, aku melakukan hal pertama setiap pulang dari mengajar aku lakukan yaitu membuka lemari sayur yang pada waktu itu tampak tak mengairahkan. Jadi aku pun termenung dan berpikir untuk pergi tempat warung didepan rumah kakaku. Namun, sebelum sempat keluar rumah, aku menyempatkan diri masuk kamar untuk menaruh dompetku dan kunci motor di sebuah box kecil. Tepat pada saat itu, TV sedang menyala dan sang news reader sedang menyampaikan berita tentang seorang IBU yang tega membunuh dua anak kandungnya karena(tentu menurut ibu GILA ini) alasan ekonomi. Aku tertegun didepan TV, terdiam. Ibu itu meracuni kedua anaknya yang darah dagingnya, yang dlahirkanya, yang dibesarkan untuk(yang menurut ibu GILA ini lagi)mengakhiri penderitaan kedua anaknya tersebut. Memang hal gila seperti ini bukanlah hal yang baru dan absurd dinegeri yang memang sakit parah dan merana ini. Tapi untuk kesekian kalinya hal ini mengusik diriku tentang esensi dan arti seorang IBU dan KASIH IBU. Melihat perangai seorang ibu yang demikian kejam dan begisnya terhadap anaknya, saya mulai menjadi skeptis tentang kasih ibu(yang tentunya kandung dalam lagu tersebut) sekarang ini. Saya mulai bertanya ‘ masihkan kasih ibu akan tetap seperti lagu diatas? Masihkan “ibu” yang meracuni anaknya tersebut layak disebut IBU? Atau barangkali kasih ibu itu berubah sesuai dengan pergerakan modernisasi seperti pergantian model HP? Adakah batasan-batasan atau kriteria yang menjadikan seorang layak disebut IBU? Mungkin jawaban-jawaban akan pertanyaan itu cukup sulit dicari jawaban yang pasti. Tetapi ada satu yang pasti: Kasih IBU sudah mulai berubah!!seperti kepada dua anak yang malang itu. Aku sedih melihatmu mendapat ibu yang tak berkasih dan tak keibuan. Saya bahkan tak bisa berpikir bagiamana bisa dia meracuni anak-anaknya yang dengan taruhan nyawa dilahirkanya sehingga ada kehidupan baru didunia ini. Menurutku, ibu seperti bukanlah ibu. Ia bahkan tak layak disebut binatang karena binatang saja empati dan mengasihi anak-anaknya. Mungkin ibu ini derajatnya ada dibawah binatang.
Namun bagi diriku yang beruntung ini, kasih ibuku tetaplah seperti pohon Felicium yang menaungi dan melindungi sepuluh anak muda dalam novel Laskar Pelangi Andrea Hirata atau ibarat pastor Maximialano Kolbe yang rela mati untuk mengantikkan seorang bapak di kamp Ausctwitch. Bagiku, ibukulah yang terbaik dan bagi setiap anak yang dilahirkan, ibu mereka adalah pahlawan mereka yang pertama dikenal. Pernah, suatu ketika aku membaca artikel Samuel Mulya, penulis kolom hiburan kompas, bahwa ibu tiri dan ibu kandung bukanlah suatu dikotomi atau kondraktif. Banyak sekali anak yang dikasihi ibu tirinya dengan cinta tulus dan mencintai ibu mereka dengan segenap hati. Maka oleh sebab itu, kita memperingati hanya satu hari ibu. Suatu hari khusus untuk ibu. Tidak ada hari ibu tiri atau ibu kandung sedunia. Mungkin, dalam kasus diatas, seorang ibu tiripun tak akan melakukan hal sekeji itu. Maka saya percaya ada ibu tiri yang mencintai dengan tulus. Maka bagi kita yang beruntung mendapatkan kasih ibu yang tulus, kita mesti belajar setiap hari bagimana menghargai ibu kita(baik tiri maupun kandung). Menurutku ada benarnya pepatah yang mengatakan “surga terletak dibawah ditelapak kaki ibu”
Peace and Love
Kristian
1 komentar:
well, like i said b4, money just drive people crazy...but everyone loves it
Posting Komentar