Kamis, 28 Agustus 2008

PERKAWINAN BY ULIL

Ini adalah tulisan mas Ulil Absar Adlalla. Tulisan mas ulil sangat sering saya baca.

Untuk urusan kawin-mawin, saya mengagumi generasi ayah dan ibu saya. Saya tidak ingin menjadikan kedua orang tua saya sebagai wakil dari satu generasi; tentu pengalaman mereka adalah unik. Tetapi saya tidak terlalu salah jika melihat mereka sebagai cerminan dari suatu gejala yang pernah berlaku di masa yang telah lewat. Mereka mengikatkan diri pada buhul perkawinan bukan bertolak dari sebuah cinta yang sarat romans dan “deburan rasa”, meminjam istilah penyair Pujangga Baru, J. E. Tatengkeng.. Mereka kawin karena tradisi keluarga menghendaki demikian, adat masyarakat menuntut begitu, dan umur mereka memang secara “biologis” sudah sampai pada apa yang dalam masyarakat kita disebut “usia nikah”. Meskipun saya bisa meleset menilai, tapi di mata saya, perkawinan mereka terjadi karena, katakanlah, pemberian alam. Buat mereka, cinta bukan “syarat” untuk suatu perkawinan, sebagimana wudlū’ adalah syarat untuk sahnya salat. Pada mereka, cinta adalah perkara yang datang kemudian. Cinta adalah proses yang dibangun secara pelan-pelan dan bertahap dalam dan selama perkawinan. Ia tidak datang di awal, tetapi tumbuh di tengah-tengah dan menguat seperti akar tunjang yang menghunjam-dalam di ujung proses.

Ayah saya mengawini seorang perempuan yang kemudian menjadi ibu saya itu karena ia dikehendaki oleh kakek saya. Menurut kisah yang saya terima dari sejumlah kerabat, ayah saya diberikan pilihan untuk mengawini salah satu di antara ketiga puteri kakek saya. Ia menjatuhkan pilihan pada ibu saya, dan saya tak tahu kenapa. Yang jelas, mereka tidak diikat oleh suatu hubungan pranikah yang intens, oleh cinta yang gemuruh seperti pada remaja sekarang. Saya menduga, cinta ayah saya mulai bersemi saat momen yang sangat menentukan itu terjadi, yakni momen ketika dia harus memilih antara tiga perempuan itu. Ia mungkin tidak pernah mengalami suatu momen “dramatis” pada saat mana biasanya seorang lelaki mengatakan kalimat klise pada seorang gadis di suatu tempat yang temaram, “I love you“― momen yang mungkin hampir serupa dengan pengalaman Aha saat seorang filsuf menerima curahan ide atau seorang mistikus mengalami penyingkapan tentang rahasia kehidupan. Ia memulai suatu pernikahan bukan dari suatu dentuman besar yang meledak saat seseorang dibakar oleh api cinta. Ia naik ke pelaminan dengan cinta yang lamat-lamat seperti lampu senthir yang dulu selalu menerangi rumah saya di kampung saat listrik belum masuk desa.

Tetapi ada hal yang tetap mangagumkan buat saya: meskipun ayah dan ibu saya mengikatkan diri pada buhul perkawinan dengan cinta yang lamat-lamat, bukan ledakan besar, en toch mereka bisa bertahan dalam pernikahan hingga akhir hayat. Mereka telah meninggal. Ibu meninggal terlebih dahulu, dan sekitar tiga tahu kemudian baru ayah menyusul. Saat ibu meninggal, dunia ayah saya seperti runtuh berantakan. Ia kehilangan semangat hidup. Ibu adalah dunia satu-satunya bagi dia, sebab hingga akhir hayatnya ia tak mengenal perempuan lain. Saya tahu ayah kerapkali memerlakukan ibu saya dengan cara yang kadang agak sewenang-wenang, kebiasaan yang lumrah terjadi di kampung pada generasi itu. Biasalah, seorang lelaki Jawa pada keluarga tradisional kerapkali ingin menjadi raja kecil; atau menjadi “pusat” dalam galaksi kecil bernama rumah tangga. Tetapi saya tahu, ia mencintai ibu saya dengan cara yang tak kalah dahsyat dengan Rendra saat terkena sihir Narti sebagaimana tergambar dalam antologi Kakawin Kawin itu. Hanya saja, cinta dahsyat itu tiba di ujung proses perkawinan, bukan di awal. Hingga akhir hayat, ayah saya yang seorang kiai desa hanya mencintai ibu saya, dan tak pernah kawin lagi. Padahal ia tahu agama memperbolehkan. Ia tentu tahu itu. Ia tak pernah berkenalan dengan gagasan modern tentang monogami. Bahkan seluruh pendidikan dan sosialisasi kultural yang ia alami di pesantren mengajarkan padanya bahwa seorang lelaki boleh melakukan poligami. En toch demikian ia tak pernah melakukannya. Kedudukan kultural dia sebagai seorang kiai desa tentu menempatkannya pada posisi yang menguntungkan, dan manakala ia memutuskan untuk kawin lagi tentu ia tak akan menghadapi kendala apapun. Tetapi ia tetap seorang monogam hingga akhir hayat. Pada titik itulah saya menjadi tahu bahwa ia mencintai ibu saya secara tak tepermanai. Mereka memulai perkawinan dengan cinta senthir yang lamat-lamat, tetapi pada penghujung perjalanan hidup mereka, cinta yang lamat-lamat itu membesar menjadi api yang berkobar-kobar.

Saya selalu mengagumi orang-orang yang dapat memertahankan perkawinan hingga akhir hayat, dan pasangan pertama yang menjadi pusat kekaguman saya untuk pertama kali tentu adalah ayah dan ibu saya sendiri. Saya tahu, betapa susah saat ini memertahankan suatu perkawinan, apalagi perkawinan monogami, untuk waktu yang lama. Percayalah pada saya bahwa usia romans sebagaimana tergambar dalam kalimat “I love you” yang sudah menjadi klise itu hanyalah seumur hand-phone model baru. Pada titik tertentu, romans semacam itu akan pudar seperti lingkaran riak air yang kian lama kian melemah. Perjalanan cinta seorang lelaki dan perempuan dalam masyarakat modern saat ini mungkin paralel dengan teori penciptaan alam yang dikenal dengan Ledakan Besar (Big Bang). Alam konon tercipta dari ledakan besar, kemudian mengembang dan mengembang hingga pada titik tertentu terjadi proses yang sebaliknya, yakni mengerut dan mengerut hingga ke titik nol kembali. Cinta meledak seperti sebuah Big Bang dan kemudian pelan-pelan mengerut seperti balon yang kehabisan udara. Pada titik itulah perkawinan mengalami ujian yang tidak mudah. Saya yakin tahap ini akan melanda setiap orang. Saya kagum pada ayah dan ibu saya karena mereka bisa melampaui tahap itu, dan dapat memertahankan perkawinan hingga akhir hayat. Saya kagum pada setiap pasangan yang bisa melampaui dengan selamat tahap “pengerutan cinta” itu, tahap ketika gairah dan romans telah mulai kedodoran.

Tidak mudah memertahankan perkawinan hingga akhir hayat. Saat seseorang secara nekat menceburkan diri ke dalam ikatan perkawinan, ia sebetulnya membiarkan diri masuk ke dalam petualangan yang penuh resiko. Kita tak pernah tahu persis dan menyeluruh siapa sebetulnya pasangan yang hendak kita kawini, meskipun proses panjang dalam apa yang disebut sebagai “pacaran” telah mendahului perkawinan. Pasangan kita akan selalu menyisakan sisi gelap yang tak pernah bisa kita singkap. Selalu ada saja hal yang lepas dari pengetahuan kita. Biasanya sisi-sisi itu akan terungkap secara pelan-pelan pada saat pernikahan sudah mulai berjalan. Di tengah-tengah proses hidup berkeluarga, kita bisa dikejutkan oleh satu dua hal menyangkut keadaan pasangan kita yang tak pernah kita ketahui pada saat pacaran berlangsung. Saya yakin kejutan-kejutan semacam itu terjadi pada semua orang. Dengan agak sedikit mengambil resiko, saya ingin mengambil suatu kesimpulan bahwa sebagian besar orang mengalami kekecewaan karena kejutan-kejutan itu: ternyata pasangan kita tak sebaik dan seindah yang kita bayangkan dulu. Kata “toleransi” mungkin tepat kita pakai di sini: kita dipaksa untuk menoleransi atau membetah-betahkan diri tetap berada pada ikatan perkawinan meskipun kita tahu ada hal-hal pada pasangan kita yang tak seluruhnya kita suka. Saya kagum pada orang-orang yang betah seperti itu dan usia perkawinan mereka tetap awet.

Ayah dan ibu saya tak pernah mengalami tahap pacaran. Mereka tiba-tiba saja “terlempar” dalam ruang perkawinan, dan mereka dengan segala daya upaya dipaksa untuk mempertahankan proses yang tak pernah mereka rencanakan secara matang itu. Saya tahu ibu saya mengalami banyak kekecewaan di tengah-tengah perjalanan. Mungkin ayah saya juga. Buat mereka, mungkin tidak ada kejutan yang terlalu mengagetkan, sebab mereka memulai perkawinan bukan dengan “ledakan cinta” dengan seluruh impian dan harapan yang terkandung di dalamnya. Mereka mulai dengan harapan yang sederhana saja. Tetapi kekecewaan tetap saja ada. Saya menduga ibu sayalah yang banyak menanggung derita dan berusaha keras untuk betah dalam perkawinan. Ia mengelola seluruh urusan dapur dan rumah tangga nyaris sendirian. Ayah saya, sebagaimana lazimnya lelaki Jawa pada keluarga pedesaan, enggan sekali untuk menyentuh pekerjaan dapur. Kadang-kadang, jika tidak puas dengan layanan ibu saya, ia bisa dengan mudah mendamprat. Meskipun tidak sering terjadi, tetapi satu dua kali ia kadang-kadang memakai “kekerasan fisik” yang tentu akan diterima oleh ibu saya sebagai bagian dari “kejutan perkawinan”.

Kekerasan fisik dalam rumah tangga sebetulnya peristiwa yang lumrah di kampung saya saat itu. Kami, di kampung dulu, tak pernah mempersoalkan hal seperti itu. Seluruhnya kami terima sebagai peristiwa sehari-hari, kadang-kadang juga sebagai “interupsi” di tengah kehidupan kampung yang motonon. Itulah “natuur” sebuah perkawinan. Ibu saya mungkin agak sedikit beruntung ketimbang keluarga-keluarga lain di mana kekerasan terjadi dengan agak sedikit berlebihan. Meskipun ayah saya bukanlah seorang suami yang ideal seperti dalam gambaran “keluarga modern”, tetapi sekurang-kurangnya ia tahu dan menghayati dengan baik sebuah ajaran dalam Islam: bahwa seorang lelaki diperbolehkan untuk memukul seorang isteri, tetapi tindakan itu hanyalah langkah terakhir setelah usaha-usaha lain buntu. Itu pun harus dilakukan dengan cara yang gentle yang dalam nomenklatur ajaran santri disebut sebagai dharb ghair mubarrih, yakni pukulan yang tak menimbulkan rasa sakit. Menurut ajaran yang kami pelajari di pesantren dulu, pukulan yang masuk dalam ketagori semacam itu ialah pukulan ringan dan tidak boleh mengenai bagian muka atau wajah. Jika ayah memukul ibu saya, biasanya hal itu terjadi dalam batas-batas seperti diajarkan dalam agama. Dengan kata lain, ibu saya dilindungi oleh ajaran agama yang melarang seorang lelaki memukul isteri secara berlebihan. Meskipun saya tidak menyepakati ajaran semacam itu diterapkan sekarang, tetapi dalam konteks kehidupan ibu saya, ajaran itu membawa berkah.

Saat “kekerasan” seperti itu terjadi, biasanya kakek saya akan menasehati ibu saya agar bersabar. Ibu saya tentu akan menerima nasehat itu dengan baik-baik, sebab memang tak ada pilihan lain: begitulah natuur perkawinan dalam pandangan keluarga saya saat itu. Sebuah hadis menyebutkan, seorang perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki sebelah kanan. Tulang rusuk itu begitu getasnya sehingga mudah patah. Saya menduga, hadis itu hanyalah berbicara tentang sebuah metafor. Tentu tak mungkin manusia terbuat dari tulang rusuk (kecuali mungkin dalam kloning). Metafor itu ingin menunjukkan bahwa seorang perempuan harus diperlakukan dengan hati-hati dan sabar. (Dalam redaksi hadis yang terkenal, istaushū bi ‘l-nisā’i khairan). Sebab, jika tidak, “tulang rusuk” itu akan retak dan patah. Dalam hadis itu diandaikan seolah-olah lelakilah yang “ngemong” isteri dalam rumah tangga; seolah-olah perempuan adalah pihak yang susah diatasi dalam perkawinan, sementara laki-laki adalah Tuan Manis yang selalu baik hati dan sabar menerima “kecerewetan” perempuan. Yang terjadi pada kasus ibu saya malah sebaliknya. Bukan ayah yang harus “betah” pada ibu saya, tetapi ibulah yang harus dengan sabar menerima perlakuan yang kadang tak menyenangkan dari ayah. Ibulah yang ngemong ayah. Dugaan saya, ibu saya bukanlah kasus yang unik. Jangan-jangan pada banyak kasus justru perempuanlah yang lebih banyak harus bersabar menghadapi laki-laki, bukan sebaliknya. Mungkin akan lebih baik jika dikatakan bahwa laki-laki terbuat dari “susu” perempuan, sehingga terus-menerus ingin dimanja, dibelai, dan diperlakukan dengan lembut; sebab jika tidak, dia akan “ngambek” dan bahkan bisa naik pitam.

Dengan seluruh kesulitan yang dihadapi oleh kedua orang tua saya dalam rumah tangga, toh mereka dapat bertahan dalam perkawinan hingga akhir hayat: ibu saya betah pada ayah saya, dan ayah saya juga betah pada ibu saya. Hubungan mereka tidak dimulai dengan ledakan cinta, tetapi dengan semacam “nasib” yang melemparkan mereka ke dalam ikatan perkawinan yang tak mereka rencanakan jauh-jauh hari. Mungkin perkawinan semacam ini sudah kian langka. Saat ini, perkawinan adalah sebuah rencana besar. Perkawinan “modern”―jika saya boleh memakai istilah ini―diselenggarakan nyaris seperti pembangunan sebuah gedung yang dimulai dengan selembar “cetak biru”, maket, dan perencanaan pembiayaan yang serba matang. Ayah dan ibu saya melakukan pernikahan dengan cara sebaliknya, yakni seperti warga kampung yang membangun rumah gebyog (rumah yang terbuat dari kayu dan bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain): tidak ada cetak biru di sana, tak ada rencana yang matang dan disusun-susun secara sistematis. Tentu cetak biru itu ada, tetapi bukan dalam pengertian arsitektur modern. Di sana yang disebut cetak biru adalah semacam rancangan yang sudah sama-sama diketahui oleh seluruh warga kampung, walau tak tertulis di kertas; semacam kesepakatan sosial. Mereka masuk dalam perkawinan dengan cetak biru berupa “kesepatakan sosial” seperti itu. Kesepakatan itu telah ada di “sana”, dan orang tua saya tinggal memetiknya. Keadaan semacam ini tentu sudah berubah sekarang. Sebagaimana saya katakan tadi, saat ini perkawinan adalah sebuah rencana besar yang menandai peralihan penting dalam karir kehidupan seseorang―suatu ritus peralihan. Pada semua masyarakat, baik tradisional atau modern, memang peristiwa perkawinan sering dimaknai sebagai ritus peralihan (rite of passage) yang menandai momen “the incorporation of a stranger into a group”, meminjam istilah Arnold van Gennep, salah satu pencetus awal teori ritus peralihan. Bedanya, dalam masyarakat modern, ritus ini sudah bukan lagi tindakan yang sepenuhnya dikendalikan oleh komunitas besar; sebaliknya ia terutama adalah tindakan pribadi yang juga ditentukan oleh pihak yang hendak melangsungkan perkawinan.

Mungkin di sini saya agak melebih-lebihkan kontras antara masyarakat tradisional dan modern. Mungkin penggambaran saya agak sedikit bau karikatur dan “mendramatisir” bagian-bagian tertentu. Tetapi inilah penggambaran yang saya dasarkan pada pengalaman orang tua saya ini.

Memang ada sedikit kelemahan pada perkawinan model rumah gebyog semacam itu. Karena tanpa perencanaan, dan kerena seluruh proses hidup suami-isteri dianggap sebagai bagian dari adat sosial yang diwariskan secara turun-temurun, banyak praktek dalam perkawinan pada generasi ayah-ibu saya yang diterima begitu saja tanpa dipersoalkan. Dalam pola pengasuhan anak, misalnya, banyak hal yang dijalankan begitu saja karena memang itulah warisan yang ada dari leluhur dulu. Contoh yang ingin saya sebut di sini berkenaan dengan praktek kekerasan pada anak-anak. Setahu saya, hampir semua anak di kampung saya dulu, dengan satu dan lain cara, mengalami kekerasan dalam keluarga mereka. Saya sendiri mengalami itu dan menganggapnya sebagai hal yang lumrah saja. Kekerasan adalah “natuur” dalam kehidupan rumah tangga. Di sini, saya sekali lagi juga harus berterima kasih pada ajaran dalam keluarga santri yang tentu berasal dari Islam sendiri, yakni orang tua diperbolehan memukul anak sebagai cara untuk mendidik, asal pukulan itu tidak berlebihan dan menimbulkan rasa sakit―dharb ghair mubarrih seperti saya sebut di muka. Jika ayah saya tak mengenal ajaran seperti itu, boleh jadi saya akan dipukul dengan lebih keras lagi. Atau sebaliknya, mungkin saya malah tak pernah dipukul sama sekali. Tetapi kemungkinan ini kecil sekali, sebab kekerasan terhadap anak adalah hal lumrah yang justru aneh kalau tak terjadi. Saya kira keadaan ini telah berubah sekarang, atau mungkin masih terus bertahan―saya sendiri kurang tahu.

Cara yang dipakai oleh ayah saya untuk “mendidik” anak-anaknya adalah khas sekali. Pada saat saya dianggap “nakal” dan sudah agak kelewatan, ayah saya akan mengambil blukang, yaitu potongan pelepah daun kelapa yang sudah dikeringkan untuk kayu bakar, dan kemudian memukulkan berkali-kali ke kaki saya bagian bawah. Jumlah pukulan tergantung pada derajat kenakalan saya, juga pada “suasana hati” ayah saya. Kalau saya dianggap melakukan kenakalan yang serius, seperti terlambat mengaji atau gagal menghafal beberapa bait syair dari sebuah kitab yang sudah ditentukan, saya bisa terkena hukuman “cambuk blukang” ini berkali-kali. Berdasarkan ajaran tentang “dharb ghair mubarrih” itu, ayah saya biasanya hanya memukul bagian kaki yang bawah. Tidak pernah dia memukul punggung saya, atau dada, apalagi muka. Meskipun kejadian yang agak sedikit kurang “wajar” pernah terjadi, di mana ayah saya memukul bagian dada saya dengan ikat pinggang yang terbuat dari kulit dan itu terjadi pada saat saya sudah bukan usia kanak-kanak lagi―kira-kira saya sudah berada di madrasah tsanawiyah atau SMP. Tentu setiap pukulan seperti itu terjadi, saya akan menangis keras sekali. Pada saat seperti itu, ibu saya akan datang sebagai “dewi penolong” yang membujuk ayah saya untuk meringankan hukuman. Kadang-kadang bujukan itu mempan, kadang juga ibu saya sendiri kena damprat. Saat menonton Farewell My Concubine, film garapan Chen Kaige yang dibintangi oleh Gong Li dan almarhum Leslie Cheung itu, saya merasa adegan-adegan kekerasan yang dialami oleh anak-anak murid sekolah Opera Peking itu sebagai hal yang sangat akrab bagi saya. Itulah yang saya alami saat kecil dulu. Meskipun derajat kekerasan yang saya alami tentu tidaklah ”sekronis” seperti dalam film itu.

Saya tahu, seluruh kekerasan itu dilakukan oleh ayah saya karena alasan edukatif, yakni untuk mendidik saya. Jika menengok kembali cara ayah mendidik putera-puteranya, kadang-kadang saya dihadapkan pada semacam ambiguitas. Saya tahu cara seperti itu sudah tak mungkin diberlakukan saat ini. Pendidikan “liberal” yang dinikmati anak-anak sekarang tidak lagi menempatkan mereka sebagai obyek mati yang tunduk sepenuhnya pada keinginan guru. Tetapi, kadang-kadang, saya berpikir bahwa sikap “spartan” ayah dalam mendidik saya itu membawa akibat-akibat positif yang baru saya ketahui belakangan. Saya tahu, ayah saya bersikap keras manakala berurusan dengan soal pendidikan. Kalau saya menonton TV di rumah tetangga pada saat-saat di mana seharusnya saya belajar, ia bisa marah besar bukan main. Setiap habis salat maghrib hingga jam 9 malam, saya diharuskan untuk belajar. Setiap usai salat subuh hingga menjelang berangkat sekolah saya diharuskan untuk mengaji Qur’an dan tafsir. Sementara itu pada sore hari, mulai usai salat Asar hingga pukul 5 sore, saya juga diharuskan untuk “ngaji” sejumlah kitab yang diajarkan oleh ayah saya. Jadwal semacam itu berlaku rutin nyaris seperti jarum jam. Itu semua adalah tugas harian yang nyaris “sakral” yang apabila saya lalaikan saya akan menerima hukuman cambuk yang berat. Pendidikan spartan dari ayah saya ini harus saya syukuri, karena dengan itulah saya mencapai banyak hal dalam pendidikan agama. Saya tak hendak mengatakan bahwa itulah satu-satunya cara yang harus ditempuh untuk mencapai pendidikan yang baik buat anak-anak. Tetapi pada kasus saya, itulah cara yang dulu diterapkan oleh ayah, dan menurut saya cukup berhasil. Kadang-kadang saya menyesal karena saya menerima kekerasan seperti itu. Tetapi secara keseluruhan saya malah harus berterima kasih pada ayah saya. Meskipun saya tak akan memakai cara spartan seperti itu untuk anak-anak saya saat ini. Pengalaman “pahit” pada masa kanak-kanak itu membuat saya sekarang enggan memaksakan sesuatu pada anak saya. Saya terlalu khawatir jika saya menyakiti anak saya. Kadang-kadang saya merasa terlalu “lembek” dan “liberal” pada anak saya, dengan akibat yang kadang-kadang kurang menyenangkan: disiplin anak-anak menjadi kendor. Pada saat-saat tertentu, kadang-kadang saya tergoda untuk memakai kembali cara-cara yang pernah dipakai oleh ayah saya dulu. Tetapi, sungguh mati, saya tak tega melakukannya sekarang.

Meskipun tumbuh dalam tradisi perkawinan dan pengasuhan anak seperti itu, saya merasa hal itu nyaris mustahil dipraktekkan sekarang. Saya mengagumi orang tua saya yang mampu memertahankan perkawinan hingga akhir hayat, meskipun mereka memulai kehidupan suami isteri tidak dari suatu romance yang mendayu-dayu. Saya melihat sejumlah hal yang positif dalam pola pengasuhan anak yang spartan dan “militeristik” seperti dipraktekkan di keluarga saya. Tetapi, bagi saya, tradisi seperti itu telah menjadi masa lampau. Gambar perkawinan semacam ini, saya kira, mewakili suatu gejala yang pernah berlaku pada suatu zaman di masa yang telah lewat. Saya tahu saya tak hidup lagi di zaman itu, tetapi ia membuat saya kadang-kadang merenung sejenak tentang apa arti sebuah perkawinan.

Saat ini, mencapai usia perak dalam perkawinan adalah prestasi besar yang harus disyukuri dan dirayakan. Pesta semacam itu secara tersirat hendak mengatakan bahwa pernikahan yang awet saat ini bukan perkara mudah, dan harus dicapai dengan jerih payah selama bertahun-tahun. Pada generasi orang tua saya, mencapai usia perak dalam pernikahan adalah peristiwa biasa saja yang tak pernah disadari sebagai momen khusus yang harus dirayakan dengan meriah. Setiap orang di kampung saya mencapai usia itu dan tak ada sesuatu yang unik di sana. Merayakan usia perak perkawinan mungkin suatu gagasan yang ganjil bagi orang tua saya dan para tetangga di kampung. Walau warga kampung saya tidak mengikuti ajaran Kristiani yang menakdirkan buhul perkawinan sebagai ikatan suci yang tak bisa diurai oleh manusia (sebab hanya Tuhan sendiri yang bisa menguraikannya), tetapi mereka memahami benar natuur pekawinan sebagai buhul yang sekali diikat harus bertahan hingga akhir hayat. Saya jarang sekali mendengar kabar perceraian di sekitar kampung saya. Di keluarga saya sendiri, terutama dari pihak ibu, hampir tak ada satupun kasus perceraian. Semua anggota keluarga besar kakek saya dari pihak ibu mencapai usia perak dan bahkan emas dalam kehidupan pernikahan mereka. Tetapi tak ada perayaan, tak ada lilin, tak ada coklat atau kue yang disediakan khusus untuk itu. Semua berjalan secara alamiah seperti ibu saya memasak pohung pada pagi hari untuk dijadikan gethuk, sarapan kesukaan ayah saya. Natuur perkawinan bagi mereka adalah seperti digambarkan dalam sebuah ayat Qur’an, yaitu mītsāq ghalīdz, ikatan berharga yang harus dijaga dengan baik.

Saya kadang-kadang menonton tayangan tentang kehidupan selebriti di TV dan melihat pasangan suami-isteri di sana dengan gampang nikah, cerai, nikah, cerai, nikah, cerai seperti “colokan listrik”. Saya kadang-kadang berpikir bahwa kehidupan perkawinan di zaman modern ini sungguh rentan dan gampang retak. Mungkin “gaya hidup” a la colokan listrik itu tidak menggambarkan suatu gejala umum di masyarakat; mungkin itu hanya gaya yang khas pada kalangan selebriti. Tetapi saya mengendus gejala semacam ini sebagai sesuatu yang mulai lumrah terjadi pada masyarakat modern. Melihat banyaknya buku yang beredar di pasar tentang kiat-kiat untuk mempertahankan perkawinan yang “berkualitas”, saya menduga bahwa kelanggengan perkawinan saat ini makin menuntut usaha dan jerih payah yang keras. Saya kira memang layak keberhasilan menunaikan tugas yang berat seperti itu dirayakan. Pesta perak atau emas untuk perkawinan saat ini barangkali memang harus diadakan, bukan saja sebagai cerminan dari rasa syukur karena Tuhan memberi karunia pernikahan yang panjang, tetapi juga semacam display kepada publik bahwa perkawinan yang langgeng masih merupakan hal yang mungkin di zaman modern ini; bahwa perkawinan yang “tahan lama” bukan hanya monopoli generasi tua.

Masalah keluarga saat ini menjadi arena pertempuran “ideologis” yang sengit di masyarakat modern. Di Amerika―jika negeri ini boleh kita kutip sebagai contoh untuk kehidupan yang disebut “modern” itu―perdebatan tentang apa yang disebut sebagai “nilai-nilai keluarga” sama panasnya dengan soal pelaksanaan syari’at Islam di negeri-negeri Muslim. Saya kira hal ini hanya bisa dipahami manakala kita mempertimbangkan kenyataan sosial berikut ini. Di tengah-tengah gejala anomi yang meruyak di masyarakat; di tengah-tengah serbuan “rasionalisasi” kehidupan sosial yang menjadikan hubungan-hubungan antar manusia menjadi kehilangan keintiman, keluarga adalah semacam sanctuary terakhir yang menyediakan penyelamatan. Keluarga dan perkawinan adalah wilayah privat yang menjadi harapan satu-satunya bagi masyarakat modern untuk menghindarkan diri dari gejala sosial yang disebut disenchantment of the world, hilangnya pesona dunia―istilah yang terkenal dari Marx Weber. Perkawinan tidak boleh kehilangan pesona, daya pikat, dan “romance”. Oleh karena itu, tema tentang “cinta yang tahan lama” menjadi pembahasan penting dalam diskursus mengenai perkawinan dalam masyarakat modern. Dan karena salah satu fondasi penting dalam cinta adalah hubungan seksual, maka tema tentang bagaimana mencapai persetubuhan yang memuaskan kedua belah pihak menempati kedudukan sentral pula. Lusinan buku saat ini beredar di pasaran tentang teknik-teknik mencapai apa yang sering disebut sebagai multiple-orgasm. Kamasutra, seni bercinta yang berasal dari India, saat ini diolah kembali dalam banyak versi dan disajikan kepada pembaca modern sebagai salah satu jalan menuju kepada “nirwana” pernikahan. Intinya adalah satu: manusia modern berusaha keras agar perkawinan tidak tergerus oleh arus rasionalisasi sosial dan kehilangan daya pesona, tetapi menjadi “sanctuary” setelah usai menjalani kehidupan yang melelahkan. Sebuah buku populer yang sudah agak lama karangan Judith Wallerstein dan Sandra Blakeslee, The Good Marriage: How and Why Love Lasts (1996), menggambarkan fungsi ideal perkawinan modern seperti ini:

A good marriage can offset the loneliness of life in crowded cities and provide a refuge from the hammering pressure of the competitive workplace. It can counter the anomie of an increasingly impersonal world, where so many people interact with machine rather than fellow workers. (Hal. 5). (Cetak miring dari saya).

Saya tidak tahu apakah kedua orang tua saya dulu pernah menjadikan hubungan seks sebagai tema sentral dalam perkawinan mereka. Masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga Jawa, sekurang-kurangnya jika keluarga saya dapat dijadikan sebuah sampel. Aspek seksual tak pernah dengan terus-terang dibicarakan sebagai pertimbangan pokok dalam masalah perkawinan. Yang muncul selalu aspek-aspek “sosial” dari lembaga perkawinan; misalnya soal anak dan kelanjutan keturunan. Ini sungguh aneh karena dalam tradisi Islam pesantren di mana keluarga saya tumbuh, aspek seksuallah yang justru menempati kedudukan penting. Dalam beberapa kitab fiqh klasik (fiqh=kajian tentang hukum Islam), pernikahan biasa didefinisikan sebagai kontrak yang memungkinkan seorang lelaki atau perempuan menikmati organ seksual lawan jenisnya secara sah dan halal (istihlāl/istibāhat al-budh‘). Salah satu alasan yang valid untuk terjadinya perceraian adalah manakala organ seksual tak berfungsi. Seorang isteri diberikan hak untuk meminta cerai jika mendapati organ vital suaminya dalam keadaan impoten atau mengalami kelainan-kelainan lainnya. Seorang suami juga diperbolehkan untuk menceraikan isterinya jika vaginanya menderita gejala aneh yang dalam kitab-kitab fiqh disebut sebagai ratq, yakni vagina buntu yang menghalangi penetrasi penis sama sekali.

Saat masih di pesantren dulu, kami kerapkali tergeli-geli saat pembahasan fiqh sampai pada soal “keanehan-keanehan” vagina (juga penis) yang dapat dijadikan alasan untuk perceraian itu. Saat itu, kami yang tak pernah mendapatkan pendidikan seks tentang organ-organ reproduksi, hanya bisa membayangkan saja. Kadang-kadang jika bayangan itu agak sedikit liar, kami bisa “basah” juga. Dalam Islam, seks sebagai rekreasi diakui dengan terus-terang dan tak pernah ditolak. Artinya, jauh sebelum gagasan tentang seks sebagai kenikmatan, dan bukan sebagai medium prokreasi atau perawatan keturunan, berkembang di masyarakat Barat, sebetulnya benih-benih ke arah itu telah tertanam dalam Islam, sekurang-kurangnya seperti tercermin dalam kitab-kitab fiqh yang dikaji di pesantren. Begitu sentralnya soal seksualitas ini dalam hubungan suami-isteri, sehingga Imam Ghazali (w. 1111 M), misalnya, memperbolehkan seorang perempuan menolak menyusui anaknya dengan alasan agar payudaranya tetap menarik buat suaminya, atau seorang suami melakukan coitus interruptus untuk menghindari kehamilan. Jika isteri menolak menyusui, suami harus mencarikan seorang perempuan lain yang akan menyusui anak mereka, dan biaya untuk itu harus ia tanggung sendiri.

Islam sebetulnya cukup blak-blakan tentang perkara seks. Islam juga tidak terlalu enggan memandang seks sebagai sesuatu yang harus dinikmati pada dirinya sendiri―tentu dalam konteks ikatan pernikahan yang sah. Namun dalam kultur keluarga Jawa seperti keluarga ayah saya, tema seks tak pernah dibicarakan sebagai masalah terbuka. Kesempatan satu-satunya yang dimiliki oleh ayah saya untuk berterus-terang tentang aspek-aspek seksual dalam perkawinan adalah pada waktu mengajarkan kitab-kitab fiqh itu, terutama pada fasal-fasal yang menyinggung soal hubungan suami-isteri. Tampaknya ayah saya menikmati benar pembahasan itu. Kami, para santri, biasanya juga senang sekali mendengarkan ulasan yang “menantang” soal seksualitas seperti dipaparkan dalam buku-buku fiqh. Kami, saat itu, tak memiliki akses apapun kepada pembahasan masalah seks kecuali melalui buku-buku fiqh tersebut. Kadang-kadang novel picisan sempat mampir ke pesantren, tetapi itupun belum tentu terjadi setahun sekali.

Saya tak tahu apakah langgengnya perkawinan orang tua saya terjadi karena mereka menikmati hubungan seksual yang “berkualitas” atau karena hal-hal lain. Setahu saya, kalaulah terjadi satu dua perselisihan antara mereka, tak pernah masalah seksual menjadi pemicu. Atau, boleh jadi masalah seks menjadi persoalan, tetapi mereka menyembunyikannya, kemudian mengalami “sublimasi” dan boleh jadi muncul kembali dalam bentuk lain. Saya menduga, masalah seks tidak menjadi ingredient utama dalam kelanggengan usia pernikahan mereka. Mungkin rahasia kelanggengan itu ada di tempat lain, yaitu perkawinan yang mereka hayati sebagai perkara alamiah biasa, seperti belanja di pasar, mengantar anak ke sekolah, ikut arisan di pertemuan RT, dsb. Perkawinan mereka jalani sebagai bagian dari kegiatan hidup sehari-hari yang rutin.

Masalahnya adalah perkawinan yang datar-datar seperti dijalani oleh orang tua saya itu mungkin tampak kurang menarik dan “menantang” di zaman ini. Perkawinan “tradisional” seperti itu tak mengandung “orgasme berkali-kali”, romance yang penuh kegilaan, atau ledakan api yang berkobar-kobar. Perkawinan itu memang langgeng, tetapi kurang dramatik. Kiat-kiat yang disuguhkan oleh buku-buku seperti yang dikarang oleh Judith Wallerstein dan Sandra Blakeslee di atas justru mengejar tujuan lain: bagaimana menjadikan perkawinan sebagai wahana tempat merawat “dentuman besar” dan romans yang gemuruh agar bertahan selama mungkin. Jika orgasme bisa dikondisikan untuk berlangsung berkali-kali, kenapa tidak? Perkawinan pada generasi orang tua saya adalah seperti bangunan gereja-gereja Protestan yang “stoik” dan sepi dari ikon-ikon yang riuh-rendah, sementara ideal perkawinan modern adalah seperti gereja Katolik yang ramai oleh ornamen dan mural.

Meskipun jalan perkawinan orang tua saya itu tampak kurang menarik saat ini, apakah ia tidak relevan lagi saat ini? Saya tidak terlalu yakin. Mungkin memang ada kecenderungan yang tampaknya kian lazim di masyarakat modern, meskipun untuk menguji kebenaran “hipotesis” ini harus ada survei khusus. Yakni, perkawinan makin dialami bukan semata-mata sebagai satu fungsi saja dalam kerja mesin besar bernama “masyarakat”, tetapi juga lahan untuk eksplorasi orgasme-berkali-kali; hubungan seks yang intens dan bermutu kian menjadi masalah utama, membuat aspek-aspek lain menjadi kurang lebih sekunder. Meskipun demikian, saya masih percaya bahwa perkawinan konvensional seperti dialami oleh kedua orang tua saya tetap berjalan hingga sekarang, mungkin sudah agak sedikit punah, atau jangan-jangan malah kian menguat.

Sekarang agak sedikit terang buat saya: sekurang-kurangnya ada dua jalan perkawinan yang bisa ditempuh saat ini. Perkawinan dengan “orgasme berkali-kali” dan romans yang dramatik, atau perkawinan yang berjalan biasa-biasa saja seperti kegiatan sosial sehari-hari; perkawinan yang gemuruh, atau perkawinan yang sepi. Mungkin tak terlalu penting jalan mana yang hendak ditempuh, sebab yang paling pokok adalah apakah seseorang bisa bertahan dan “betah” dalam buhul suci yang menurut orang-orang Kristen tak boleh diurai kecuali oleh Tuhan, atau menurut Islam, boleh diurai tetapi dengan resiko dibenci oleh Tuhan itu. Saya memakai kata “betah” di sini dengan dua pengertian sekaligus. “Betah” dalam pengertian yang agak pesimis: seolah-olah pernikahan adalah pengalaman tak menyenangkan, tetapi seseorang tetap harus bertahan di sana, seperti pengalaman naik kereta ekonomi Solobalapan jurusan Jakarta-Solo. “Betah” dalam pengertian optimis: pernikahan adalah pengalaman asyik, karena di sana berlangsung orgasme-berkali-kali, persis seperti kata “betah” dalam kalimat “saya betah berlama-lama di rumah Hamid”. Dalam praktek sehari-hari, mungkin yang terjadi adalah sebuah perkawinan di mana “betah” di sana memiliki dua makna itu sekaligus.****

Tidak ada komentar:

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng