Sabtu, 20 September 2008

RUU ANTI PORNOGRAPHY: PRODUK KEBODOHAN BANGSA

Sebagai seorang yang baru belajar menjadi Liberal dalam hal pemikiran, saya harus dengan berani berkata bahwa saya tidak setuju dengan di sah-kanya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi [RUU APP] menjadi sebuah Undang-Undang. Tentu saya tak seraya menolak undang-undang tersebut begitu saja tanpa mengajukan beberapa alasan yang menurut hemat saya cukup rasional. Menurut hemat saya ada beberapa alasan mendasar mengapa undang-undang seperti ini tidak layak di sahkan dan bahkan dapat dikatakan merupakan sebuah PRODUK KEBODOHAN BANGSA KITA.

Pertama, jika kita pernah mempelajari sedikit tentang ilmu Antropologi, maka kita tahu bahwa setiap manusia yag dilahirkan di dunia memiliki apa yang kita sebut KEBEBASAN INDIVIDU. Setiap manusia memiliki kebebasan semacam itu. Seorang manusia berhak memilih apa yang akan dimakanya, pakaian yang dipakainya serta rambut model apa yang ingininya ketika ia pergi kesalon. Jelas bahwa kebebasan individu meliputi kekuasaan manusia tersebut terhadap tubuhnya sendiri. Dalam menghadapi ada KEBEBASAN INDIVIDU yang dimiliki setiap manusia ini, maka tugas utama negara adalah mengatur supaya masing-masing kebebasan individu tiap orang tidak menggangu atau merampas bahkan mungkin meniadakan hak individu orang lain. Maka kita mengenal adanya aturan kehidupan yang mengatur kehidupan kita bersama secara baik. disinilah menurut saya kesalahan mendasar RUU APP yang mungkin Senin esok mungkin akan disahkan oleh anggota DPR yang tidak mengerti soal yang akan disahkanya itu. Dengan disahkan RUU APP itu, negara telah merampas kebebasan Individu yang dimiliki tiap manusia. Negara telah masuk keranah terdalam dalam kehidupan manusia dan ini merupakan suatu bentuk kebodohan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dibumi pertiwi ini. Hal seperti inilah yang menurut Romo Haryatmoko disebut PATERNALISME NEGARA:yaitu semacam kondisi dimana negara ingin menjadi polisi moral bagi seluruh warga negaranya yang biasanya dilakukan dengan alibi luhur tentang moral masyarakat. Biasanya menurut Haryatmoko beberapa alasan mengapa negara sangat ingin sekali mencampuri urusan moral rakyatnya: pertama, menjaga keteraturan dan kepantasan publik dengan melindungi anak-anak dan mereka yang diangap rentan atau belum dewasa dari segala bentuk visual yang merugikan secara moral. Kedua, bertujuan melindungi perempuan agar tidak diperlakukan sebagai objek pornografi. Ketiga, mencegah dan menghukum semua yang dikategorikan melanggar moral diluar batas moral perkawinan. Tujuan diatas tentu sangat luhur dan mulia, namun jika dilihat lebih dalam, dasar seperti itu memilki beberapa kelemahan.

Pertama, dengan turut campur dalam moral rakyatnya, negara beranggapan bahwa rakyatnya tidak mampu memilah mana yang baik dan yang buruk bagi dirinya. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa otonomi moral setiap manusia indonesia dipertanyakan dengan disah-kan RUU ini. Kedua, tujuan ini juga meniadakan prinsip Subsidiaritas dalam masyarakat artinya jika suatu komnitas mampu menyelesaikan masalahnya dengan kemampuan yang ada di komunitas itu, maka campur tangan negara sebenarnya tidak diperlukan karena hal itu akan melemahkan Civil Society atau masyarakat madani didaerah itu karena negara cenderung mengurusi semua urusan rakyatnya. Ketiga, Paternalisme negara terhadap rakyatnya yang semacam ini bersifat elitis dan diskriminatif. Ada nafsu negara dengan aktor-aktor pemainya ingin mengontrol massa yang dianggap jelek. UU seperti ini sangatlah dipertanyakan. Maka dengan mudah instrumen hukum ini mendiskriminasikan kelompok lain yang berbeda.

Kedua, menurut pengetahuan saya sendiri, RUU APP sendiri memiliki beberapa masalah didalamnya. Salah satu masalah yang pernah saya ketahui adalah masih tidak jelasnya definis pronografi itu sendiri. Masih terasa segar dalam benak saya, saya pernah ikut seminar membahas RUU ini sekitar tahun 2005 di Kampus dengan nara sumber Dr. Gadis Arivia, Dr. Haryatmoko dan seorang Antropolog UGM yang saya lupa namanya. Kalau saya tidak salah dalam RUU dikatakan bahwa PORNOGRAFI adalah segala sesuatu baik itu gambar,tulisan,visual,foto dan sebagainya yang tidak senonoh,mesum cabul yang dapat meransang seseorang jika melihatnya. Pengertian seperti ini sungguhlah pemahaman yang sangat ambigu dan membinggungkan. Pada taraf manakah kita bisa mengukur seseorang terangsang jika melihat sesuatu? Apakah batasan-batasan apa yang disebut cabul? Kapan sesuatu itu bisa dikatakan porno? Jelas bagi saya pengertian seperti ini sangat diragukan. Oleh sebab itu menurut saya RUU ini adalah bentuk nyata dari ketidakmampuan anggota DPR kita dalam menyusun UU. Ukuran tentang porno dengan pengertian ini sangatlah subjektif karena tergantung kondisi mental dan afektif seseorang. Setiap orang mungkin memilki pandangan atau rasa yang berbeda ketika melihat sebuah lukisan telanjang.maka, suit sekali membuat batasan-batasan pornografi.

Ketiga, RUU APP mengorbankan kebebasan wanita terhadap tubuhnya. Seperti sudah saya sebutkan diatas, seharusnya wanita bebas menentukan apa yang dia lakukan terhadap tubuhnya selama tidak melawan hukum yang berlaku. Maka RUU APP yang kalau tidak salah hampir semua pasal mengatur bagaimana wanita harus mengatur tubuhnya dalam berpenampilan [ seingat saya, saya pernah membaca kopian RUU ini ketika seminar itu. RUU berisi sekitar 93 pasal]. Maka dengan sengaja negara telah merampok wanita atas hak tubuhnya yang semestinya dimilkinya. Sungguh sebuah bentuk kebodohan baru. Wanita Indonesia akan senggsara oleh RUU yang bearoma padang pasir.

Ke-empat, Pengawasan berlebihan yang dilakukan negara terhadap tubuh warganya secara tidak langsung membatasi kreativitas masyarakat karena pergerakan tiap individu akan sangat diawasi dan hal ini tidak menghargai proses perkembangan individu. Padahal menurut J.S Mill hal yang seharusnya diperhatikan negara adalah perkembangan individu dalam jangka panjang. Dengan pengekangan yang demikian rupa, kita akan sulit berkembang.

Kelima, dengan adanya RUU ini pemerintahan ingin menyamaratakan perbedaan – perbedaan yang ada dalam kebudayaan lokal ditiap daerah yang ada di indonesia. Hal ini akan sangat berbahaya karena bisa menimbulkan Disintegrasi bangsa kita. Misalnya, bertelanjang dada dan mengunakan koteka bagi masyarakat pedalaman papuan dan kalimantan adalah hal yang biasa dan merupakan bagian tradisi. Akankah negara memenjarakan mereka semua? RUU ini mengancam kelestarian budaya indonesia yang beragam. Maka saya tidak heran propinsi BALI sangat menolak RUU tersebut. Dalam bahasa kasarnya, BALI bisa memisahkan diri dari indonesia.

Ke-enam, secara tidak langsung UU ini jelas menampar setiap kaum laki-laki di indonesia. Dengan membatasi semua cara pakaian wanita yang katanya dapat merangsang [yang merangsang laki-laki maksudnya] jelas RUU ini mengatakan dengan jelas bahwa setiap laki-laki di indonesia ini tidak BERMORAL karena kita yang laki-laki ini akan selalu terangsang meilhat wanita dan mugkin menurut negara jika kita terangsang, maka kita kan cenderung memperkosa. Landasan pemikiran ini jelas menampar laki-laki secara mentah-mentah dan jelas menunjukan rendahnya MORAL LAKI-LAKI.

Ke-tujuh, jelas menurut saya, RUU ini lebih merupakan produk yang sangat dipengaruhi muatan agama dari pada muatan akal sehat demi kemaslhatan manusia. Menurut saya, tidak semua masalah kehidupan manusia bisa diselesaikan oleh agama. Agama tidak mengandung semua solusi masalah kehidupan. Agama selalu ingin mencapai segala sesuatu dalam keadaan ideal, padahal dalam kehidupan nyata, yang ideal adalah sesuatu hal yang hampir tak mugkin dicapai.

Maka pada tahap ini, jelaslah bagi saya RUU ini adalah bentuk kebodohan baru bangsa Indonesia yang masih saja bergulat dengan tetek-bengek seperti ini. Menurutku biarlah manusia itu sendiri yang mengurus moralnya. Disitulah fungsi keluarga pada dasarnya.

Love

Kristian

Tidak ada komentar:

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng