Kamis, 25 Oktober 2007

KEKERASAN MEDIA

Sore ini, saya duduk dimeja belakang yang kecil di dapur yang agak sempit sambil menahan rasa lapar yang mulai menyerang perutku seolah ia ingin berkata “saya ingin makan”. Saya duduk sambil termenung di didepan laptopku yang sudah usang dan mulai menulis kata-kata ini yang sesungguhnya saya sendiri binggung mengapa saya ingin menulisnya dan menceritakanya kepada orang lain. Tetapi saya percaya kepada para pujangga bahwa kata-kata memiliki kekuatan yang tak terbatas dan menembus dinding perbedaan. Saya mulai binggung ketika ingin menulis kalimat-kalimat ini dan mulai bertanya apa yang harus saya tulis?. Lalu secara tiba-tiba saya teringat tentang sebuah buku yang sudah saya baca beberapa minggu yang lalu yang berjudul “Etika Komunikasi” yang ditulis oleh romo Haryatmoko, dosen ditempatku kuliah. Secara jujur saya akui saya belum khatam benar isi buku itu, namun saya sangat tertarik pada bagian yang berbicara tentang kekerasan dalam Media. Kita tahu dan bahkan sadar tentang apa yang pernah dikatakan oleh Jakoeb Oetama, pendiri harian Kompas, bahwa masyarakat kita sekarang sedang mengalami migrasi dari budaya melek huruf ke budaya menonton. Masyarakat kita sekarang hampir jarang menggunakan waktu untuk membaca, namun lebih banyak sekali menonton TV. Maka bagi saya buku tersebut sangat merangsang untuk dibaca tentang perkembangan media di indonesia. Karena saya belum khatam, pada bagian ini saya hanya ingin membahas salah satu unsur yang diangkat dalam buku tersebut yaitu Kekerasan Dalam Media.
Secara jujur, menurut pengamatan saya, media sekarang khususnya TV pada umumnya menayangkan program-program yang sama sekali tidak mendidik dan tak berkualitas. Saya cenderung mengatakan kebanyakan sinetron adalah SAMPAH yang meracuni cara berpikir masyarakat terhadap dunia nyata. Dan tanpa harus menuduh, media TV sekarang pada umumnya mengandung kekerasan yang sangat berdampak pada penonton. Didalam buku terbarunya itu, Haryatmoko yang mengutip Pascal Lardellier mendefinisikan kekerasan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan[18]. Kekerasan mengandung unsur dominasi terhapad pihak lain baik dalam bentuk fisik,verbal,moral,psikologis. Menurutnya logika kekerasan merupakan logika kematian karena bisa melukai tubuh,melukai secara psikologis,merugikan dan menjadi ancaman terhadap intergritas pribadi. Didalam media, kekerasan sering terkait dengan penggambaran yang memungkinkan gambar bisa melemah dan membuka suatu dialektika banalisasi dan sensasionalisasi. Pengambaran kekerasan dimedia kadang sangat sulit dibedakan antara yang riil, simulasi,hiperriil, dan bohong. Haryatmoko mengatakan bahwa semua gambar dan teks dalam media diatur sedemikian rupa sehingga keyakinan pemirsa akan kekerasan ingin menemukan ilustrasi begitu keluar menjadi lebih dikuatkan. Kekerasan dalam media menurutnya lebih lanjut mengandung aspek dualisme yaitu aspek estetik dan destruktif. Disatu sisi, kekerasan membuat kita muak dan merasa jijik. Sedangkan disisi lain mengundang ketertarikan untuk diamati. Didalam media kekerasan menempatkan kinakmatan dalam perjumpaan antara keindahan dan kematian[121]. Maka jika kita tidak kritis, akan sangat sulit membedakan dan melihat kekerasan dalam media massa. Menurut Nel, ada tiga bentuk kekerasaan estetik didalam media yaitu horor regresif, horor transgresif dan gambar –simbol. Kekerasan dalam bentuk horor regresif mau menunjuk pada selera publik akan kekejaman yang menyeramkan dan melampaui akan sehat kita. Perhatian diarahkan pada yang riil namun tidak harus otentik. Motif utamanya adalah digerakan oleh ketertarikan pada hal yang meneror dan merinding. Horor transgresif pada intinya berupaya menayangkan kekerasan dalam konfigurasi seni yang baru pada bagian yang belum terekplorasi dang terlarang. Dalam gambar –simbol, mengajak penonton melampaui tatanan rill yang kontekstual. Kekerasaan ditolerir sehingga akhirnya mejadi indah. Sebagai contoh kekerasan Che Guevara. Pengarang juga dengan jelas menerangkan bahaya kekerasan dalam media terhadap masyarakat dengan memaparkan hasil penelitioan APA[American Psychological Association ] tentang efek kekerasaan dalam media TV diAmerika. Menurt studi tersebut ada tiga efek negatif kekerasan media.
Pertama, merepresentasikan kekerasaan dalam media meningkatkan prilaku agresif masyarakat. Kedua, menonton kekerasaan secara berulang-ulang dapat menyababkan ketidakpekaan terhadap kekerasan dan penderitaan korban karena ada proses depersonalisai manusia. Tiga, dapat meningkatkan rasa takut pada masyarakat yang menciptakan paradigmanya tentang dunia. Kita dapat melihat betapa bahayanya efek kekerasan dalam media terhapad mereka yang rentan terutama anak-anak dan orang muda. Untuk memahami kekerasan dalam media, kita harus mengerti bahwa didalam media terdapat tiga tipe dunia yaitu dunia rill atau nyata, dunia fiksi, dan dunia virtual. Masing-masing dunia media ini memiliki bentuk kekerasanya tersendiri. Maka kekerasan dalam media juga dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu kekerasan dokumen, kekerasan fiksi dan kekerasan simulasi. Kekerasan dokumen merupakan penampilan gambar kekerasan yang dipahami pemirsa dengan mata telanjang sebagai dokumentasi fakta kekerasan misalnya pembunuhan,tawuran.kekerasan dokumen tidaklah selalu negatif karena kadang-kadang menibulkan rasa iba. Kekerasan fiksi merupakan representasi kekerasan yang keluar dari dunia riil dan jauh dari dunai nyata namun mampu menjadi pijakan dalam analogi dunia rill.kekerasan simulasi adalah kekerasaan yang melampau dunia rill dan penuh tipuan dan simulasi namun penonton tidak menyadarinya dan menggangapnya rill misalnya smack down. Kita, sebagai konsumen media haruslah kritis dan cerdas dalam proses seleksi tontonan program yang kita saksikan untuk menghindari kekerasan media yang sangat merugikan bagi generasi muda kita.


Peace and Love


Kristian

Tidak ada komentar:

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng