Sabtu, 20 Oktober 2007

Pak Goenawan Mohamad, Cinta, Rasa

Emang sejak jaman kuliah dulu in Jogja, saya termasuk orang yang suka ngendon di perpustakaan Sanata Dharma berjam-berjam tiap sore. Biasanya saya pergi keperpus jam empat sore sampai jam delapan atau tujuh malam. Jujur, tujuan saya keperpus tidaklah selalu untuk membaca, adakalanya saya keperpus untuk mencari tempat yang sejuk, harum dan ideal untuk liat-liat cewek atau sekedar melamun. Namun sangat jarang sekali ketika keperpus saya tidak membaca sesuatu, paling tidak saya baca koran, majalah, tabloid dll. Biasaya saya juga mencari buku-buku yang baru terbit. Pada suatu hari, seingat saya, saya langsung kelantai empat perpus untuk membaca koran-koran, majalah dll. Tentu, pertama-tama, saya mencari kompas dan membaca opininya dahulu dan majalah lain, lalu tibalah giliran saya membuka majalah tempo mingguan, saya buka depanya, balik sini sana, dan pada bagian paling akhir, alias halaman terakhir terpampang sebuah esai bejudul ‘seks’[saya tidak ingat edisi kapan] oleh Pak Goenawan Mohamad. Lalu saya memulai membaca tulisan itu yang menceritakan pengalaman dan pandangan Pak Goenawan tentang seks. Dia memulainya dengan menceritakan pengalamanya menonton film blue[saya sendiri binggung mengapa film porno kok dibilang film blue, padahal blue kan biru, apa karna pertama yang tampil dilayar pada biru?] di Eropa, mungkin ketika beliau belajar disana. Dia mengatakan bahwa seks justru bisa tidak memiliki semacam daya tarik sama sekali. Dia mengatakan pada waktu mulai film bluenya dia tegang, lalu mulai, sangat tegang dan akhirnya dia tertidur pulas. Pengambaran seks yang berulang ulang dan pada akhirnya akan menjemukan karena tidak ada rahasia lagi, semua sudah terungkap. Dia membuktikan ketelanjangan selamanya tidaklah porno.
Membaca karangan pak Goen tersebut saya berpikir kembali dan bahkan boleh dikatakan tersihir oleh tulisan beliau. Cara beliau menulis, pengetahuan beliau yang lintas disiplin dan pandangan yang terbuka membuat saya pada waktu itu mulai menyukainya. Saya memang secara jujur telah tahu tentang beliau dan bahkan pernah membaca catatan pinggir beliau. Mungkin juga boleh dikatakan sering tapi sangat jarang sekali saya membaca dengan serius dan mulai memikirkannya lagi. Dari tulisan timbul kecintaan akan karya beliau. Kembali ke capingnya yang judulnya seks tadi, saking saya belum puas membacanya dengan detail, saya memutuskan untuk memfotokopi caping tersebut dan membacanya lagi dikos saya. Saya juga memberikan potokopiannya keteman saya. Bagi saya Pak Goen adalah seorang muslim yang ditengah tengah, dia muslim secara keturunan tetapi juga kristen secara pemikiran. Pak Goen sangat terbuka dan toleran tentang agama dan pemahamanya sangat begitu luas[malu saya karena saya baru saja belajar menulis, masih seperti anak SD]. Setelah saya pulang kampung ke Kalimantan, saya sudah cukup jarang membeli Tempo, maklum guru kan gajinya kecil, namun saya ingat saya pernah membaca yang judul caping Pak Goen yang judulnya Ayaan. Tulisan itu juga sangat bagus. Baru-baru ini, sekolah tempat saya mengajar membeli modem untuk keperluan khusus, lalu saya mempunyai kesempatan untuk surf dinternet tentang Pak Goen. Wow... saya senang sekali ketemu kumpulan caping caping Pak Goen. Saya mengkopi beberapa yang saya suka dan saya baca ulang lagi. Ada salah satu caping Pak Goen yang oke banget dan membuat saya terharu ketika membacanya antara lain yang judulnya ‘Murtad’ disitu pak Goen menegaskan bahwa memilih agama adalah hak azazi dan pribadi seseorang dan juga menggambarkan tentang pak Goen sendiri yang sangat toleran dan berpandangan terbuka tentang agama. Berikut salah satu kutipan salah satu bagian caping itu.
“ Memang harus saya katakan, saya seorang Muslim karena orang tua
saya. Tapi saya sebenarnya bebas untuk tak mengikuti garis itu-
sebagaimana orang-orang Arab dulu bebas untuk tak mengikuti
kepercayaan nenek moyang mereka dan memutuskan untuk mengikuti Rasul
Tuhan, dengan risiko dimusuhi keluarga sendiri dan masyarakat
sekitarnya”.
“Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam agama saya
sekarang bukan karena saya anggap agama itu paling bagus. Saya tak
berpindah ke agama lain karena saya tahu dalam agama saya ada
kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam agama lain ada
keburukan yang ada dalam agama saya. Sejarah agama-agama senantiasa
terdiri atas bab-bab yang paling represif dan buas, tapi juga pasase
yang paling mulia dan memberikan harapan. Agama menyumbangkan kepada
kehidupan manusia secercah kesadaran, betapapun mustahilnya keadilan
akan datang, nilai itu - dan segala sifat Allah - tetap memberi
inspirasi. Agaknya itulah yang berada dalam inti iman”.
Bagian ini menggambarkan pandangan pak Goen tentang agama yang dianutnya dan pandangan terhadap agama lain. Saya sangat menggagumi beliau mulai saat pertama menbaca capingya dan sampai sekarang. Kita tahu betapa sulitnya mencari orang seperti beliau dinegeri yang hukumnya kadang tidak berlaku bagi sekolompok pecinta kekerasan. Didalam capingnya Pak Goen, terdapat pengetahuan yang bisa menimbulkan rasa, dan rasa tersebut dapat menimbulkan cinta dan saya tersihir oleh cinta tersebut. Beberapa hari ini saya sudah membaca caping pak Goen yang judulnya Myanmar, Puasa, makam dll dan they are all amazing and inspiring essays.

Last but not least, let me say something about you, Pak Goen. You were born to enlighten us, younger generations. Writing is your breath, and to some people , breath and God are alike. Then your writing is breath and God to you. Death, to you, does not mean that you die biologically, or your body is defunct, death to you is when you cannot write anymore.


Thank and Love


Kristian

Tidak ada komentar:

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng