Sabtu, 04 Oktober 2008

Guru : Keterbukaan

Tak terasa sudah hampir dua bulan lebih saya telah mengajar disekolah baru tempat saya ditugaskan sebagai guru. Ada sesuatu yang baru yang saya peroleh dari sekolah baru ini.

Ada pepatah dalam bahasa kita: tak ada rotan, akar pun jadi. Mungkin itulah yang saya alami sekarang. Karena kekurangan jam mengajar bahasa Inggris karena sudah ada tiga guru senior, saya mendapat tugas baru dalam profesi guru saya yaitu sebagai guru mata pelajaran sosiologi. Memang sebelumnya sang wakil bos yaitu wakasek telah menanyai saya tentang mapel apa saja yang saya bisa ajarkan selain bahasa Inggris yang memang latar belakang pendidikan saya, maka saya mengatakan saya suka sosiologi dan antropologi.
Maka ketika mendapat jadwal mengajar, disitu tertera bahwa saya juga mengajar tiga kelas sosiologi kelas satu. Dalam hati saya berkata: wow it is new challenge for me.

Jujur kukatakan, saya suka sekali membaca buku-buku bidang humaniora baik itu dibidang sosiologi, agama, antropologi dll. Maka saya dengan cukup jelas berkata pada diri saya bahwa saya bisa. Sosiologi tampaknya bukan hal baru bagi saya, nun ketika saya kuliah bahasa Inggris dulu saya sudah pernah membaca buku tentang markisme karangan romo baskara dan franz magnis dan sedikit ilmu filsafat tentang Auguste Comte, Hegel dan sejawatnya. Jadi jelas sosiologi adalah suatu bidang yang saya senangi.

Dalam setiap pelajaran sosiologi, saya tidak pernah memberi catatan kepada murid saya. Sejak awal saya katakan bahwa saya menganggap mereka orang dewasa maka oleh sebab itu saya akan menjelaskan tiap sub bab dan mereka mendengarkan penjelasan saya. Nanti ketika sudah saya jelaskan baru mereka ringkas sendiri inti dari penjelasan saya. Tujuan dari cara mengajar seperti itu supaya siswa terbiasa memahami dulu baru mencatat dan itupun yang mereka anggap penting saja.

Biasanya, ketika saya sudah selesai menjelaskan suatu bab atau sub bab tertentu, saya membuka suatu kesempatan atau ruang untuk bertanya secara bebas. Pada sesi tersebut saya berikan kesempatan yang seluasnya untuk bertanya segala hal, bukan hanya tentang pelajaran mereka. Setelah melewati beberapa tahap, saya yang guru ini memperoleh beberapa masukan.
Pada suatu kesempatan, seorang siswa perempuan bertanya kepada saya seperti ini “ pak, menurut bapak, bumi ini ciptaan tuhan atau merupakan sebuah proses alam seperti dalam teori big bang? Bapak percaya mana?
Setelah berpikir sejenak, saya akhirnya mengatakan kepada mereka bahwa jawaban kita sangat tergantung dari paradigma yang kita miliki. Jika seorang yang sangat religius maka dia akan percaya hal yang pertama. Jika ia seorang Ilmuwan yang ateis maka ia percaya yang kedua. Namun saya katakan kepada mereka bahwa saya memilih jalan tengah: artinya saya percaya bumi ini diciptakan tuhan, tetapi tuhan tidak menciptakanya serta merta begitu saja melainkan ada proses yang dilakukan oleh alam itu sendiri dimana tuhan ikut campur didalamnya. Hal inilah yang dipelopori Pastor Piere Teiihard De Chardin.

Bagi saya, guru harus terbuka terhadap segala kemungkinan yang ada, termasuk kemungkinan tidak bisa menjawab pertanyaan siswa pada saat mengajar. Saya katakan kepada mereka seandainya saya tak bisa menjawab maka saya akan konsultasi ke guru besar saya professor GOOGLE dulu. Adalah baik menunda jawaban kita kepada siswa daripada menjawab pertanyaan dengan salah atau mengada-ada karena akan menjatuhkan kredibilita kita sendiri.

Pertanyaan yang diajukan siswa pada setiap sesi sangat berbeda. Ada yang bertanya tentang penyakit hipospadia yang saya terpaksa harus mencari di internet, tentang sex, aids, dan bahkan tentang apa kriteria orang sukses. Pertanyaan-pertanyaan itu mengajarkan saya satu hal yang penting:keterbukaan. Seorang guru harus terbuka terhadap hal baru, pengetahuan baru karena dunia telah berubah begitu cepat.

Hal inilah yang membedakan guru jaman dulu dan jaman sekarang. Dijaman sekarang siswa sudah mulai bertambah kritis dan sering kali mereka ingin sekali ‘mencobai” gurunya dan hal itu menurutku adalah hal yang sangat wajar.
Oleh sebab itu menurutku guru harus sering mengupdate kemampuanya.

Ada juga murid yang kalau saya tidak salah kelas C bertanya suatu pertanyaan yang bersifat metafisika. Sang murid bertanya bertanya kepada saya “bagaimana kita tahu bahwa tuhan itu ada atau tiada pak”? pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat sulit dan diluar jangkauan akal budi kita. Saya meminta maaf dan menjawabnya dengan berakata “ akan sangat sulit menjelaskan segala sesuatu yang terjadi didunia ini jika kita tidak mengandaikan adanya tuhan”. Semua keteraturan yang ada dibumi, ciptaanya dll. Dalam mengajar sosiologi saya menemukan suatu perasaan senang dan cukup bergairah. Tidak seperti ketika mengajar bahasa Inggris, saya merasa bosan dan siswa sulit mengerti apa yang saya jelaskan. Saya pun tan mengerti apakah saya yang tidak bisa mengajar atau apa ?. Saya juga binggung.


Love


Kristian

Tidak ada komentar:

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng