Sabtu, 08 Desember 2007

Kampanye: Pembodohan Publik

Demokrasi sedang tumbuh dinegeri ini, dan salah satu ciri pertumbuhanya adalah maraknya pemilihan kepala daerah atau yang lazimya disebut PILKADA. Akhir-akhir ini pilkada ada dimana-mana, ada di Kal-Bar, Sulsel, Maluku dan masih banyak lagi pulau yang terkena demam demokrasi. Dan ini adalah proses pemilihan langsung atau dalam bahasa canggihnya direct election. Hari-hari ini, PILGUB sedang ada juga dipulau kalimantan khususnya KalBar dan tampak sekali banyak baliho dan atribut pilkada yang tampak tak sedap dipandang mata karena banyak yang pasang pada tempat publik yang tidak tepat. Kali ini, saya ingin bercerita tentang pengalamanku mengikuti suatu tahap PILKADA yang disebut Kampanye. Dua hari yang lalu, tepatnya, minggu 4 November, dikotaku sedang berlangsung kampanye salah satu kandidat gubernur. Kandidat tersebut membawanya bersamanya beberapa artis ibukota yang cukup ternama seperti Dewi Persik, Rhoma Irama, Basuki, Eva KDI dll. Karena tertarik dengan artisnya, saya memutuskan untuk pergi menonton kampanye tersebut walaupun dalam keadaan yang berdesak-desakan. Setiap hari, poster kandidat tersebut terpampang dihampir setiap pojok kota dengan slogan yang mau mengatakan bahwa jika dia terpilih maka pendidikan dari SD sampai SMA akan GRATIS. Dan dalam setiap pojok wawancara dengan wartawan pun dia akan berkata hal yang sama. Saya datang ke acara kampanye itu, sekitar jam satu siang, acara dimulai dengan lagu-lagu pop dan rock yang dibawakan band lokal dan saya cukup terhibur dan puas. Tanpa saya sadari, satu jam telah berlalu dan kandidat belum muncul. Setelah beberapa lagu, sang kandidat memasuki mimbar dan berteriak diiringi yel-yel pasangan tersebut. Dia mulai bertanya pertanyaan retorik yang bodoh seperti; mau pendidikan gratis, kesehatan gratis dll. Sang kandidat hanya mengunakan kesempatanya untuk menjelaskan cara mencoblos dan meminta penonton mengacungkan jumlah jari sesuai nomor urutnya dan berteriak: ingat tanggal 15 november pilih nomor brapa? Sambil disambut teriakan pendukungnya. Setelah itu, sang kandidat duduk dan dilanjutkan dengan acara musik dengan menampilkan artis-artis ibukota tersebut. Ada beberapa hal yang saya pelajari dari tahap politik seperti ini.nampak jelas bahwa rasionalitas program kandidat bukanlah hal utama dalam PILKADA ini, ini tampak dengan ketiadaan sang kandidat dalam menjelaskan tentang cara bagaimana dia akan membuat pendidikan gratis, apa langkah yang diambilnya? Saya tidak mengetahui mengapa dia tidak menjelaskanya dengan detail. Apakah karena kita terlalu bodoh hingga tak mampu mengerti, maka dia memilih tak menjelaskanya? Atau dia pikir itu memang tidak penting toh menurutnya kita tidak membutuhkanya? Atau dia memang hanya mengada-ada saja untuk membohongi publik. Tapi saya ini, yang merasa suka politik dan ingin mengerti rasionalits program kandidat tersebut merasa penting mengetahui rasionalitas unruk mencapai program sang kandidat tersebut. Saya ingin yakin sebelum memilih. Tapi tampaknya kampanye tak jauh bedanya dengan konser musik yang intinya hiburan saja. Maka tanpa kita sadari, kita telah dibohongi sang kandidat dan secara langsung kita menerimanya. Saya mengamati, PILKADA sekarang sangat jarang mengedepankan kualitas politik yang layak. Isu yang diangkatpun selalu bersipat primordial dan provokatif seperti suku, agama dll. Kedewasaan politik di negeri ini masih jauh dari ideal. Kita memilih berdasarkan suku, agama dll. Aduh saya binggung nanti apa mau milih atau tidak. Empat kandidat gubernur Kalbar menurut saya tidak ada yang berkualitas dan memilki sifat kepemimpinan

Makan dan Keadilan

Sore ini, saya dan sekeluarga makan malam seperti biasa yang kami lakukan. Di tiap makan malam dalam keluargaku, selalu ada kebersamaan yang memang bagiku merangsang nafsu makanku. Tetapi ada satu yang berbeda dari makan malam kali ini, makan malam kali ini aku baru merasakan nikmat dan rasa kenyang yang luar biasa dan rasa keninkmatan dan kekenyangan itu masih ada ketika aku menulis tulisan ini. Tentu, makan malam-malam sebelumnya tentu juga kenyang dan nikmat tetapi malam ini kekenyangan dan kenikmatanya memang enak. Yang enak dan nikmat tidaklah harus wah..., mahal tetapi sesuai selera. Malam ini ada cah kangkung yang sedap, udang goreng yang wow banget dan ikan panggang yang wah dengan sambalnya yang mantep. Saya begitu menikmati makanku dan bahkan begitu kenyang. Perutku begitu penuh dan aku rasanya malas sekali untuk bergerak, bahkan ketika menulis tulisan ini. Aku selalu bersyukur atas makanan dan berkat tuhan yang selalu Ia berikan kepadaku dan keluargaku. Namun, setelah cukup lama duduk diteras lear rumah dan melihat seorang gila yang lewat dan menyaksikan tayangan tentang kelaparan di TV, aku merasakan ada ketidakadilan dalam tindakan dan laku makanku. Aku makan begitu kenyang dan nikmat ketika orang gila itu mengais sampah, aku kenyang ketika diafrika sesuap nasi sama artinya dengan tarikan nafas. Aku makan dengan banyak pilihan sementara yang lain kelaparan terjadi. Inilah wajah ketidakadilan yang memang harus kita hadapi dinegeri ini.ketidakadilan adalah fenomena wajar dan lumrah disini. Lalu aku bertanya tentang makanlu, apakah aku egois, rakus sehingga hanya mementingkan laku makanku sendiri dan tak peka terhadap laku sesama. Aku memang seorang yang menikmati makan yang nikmat walau miskin, aku adalah suatu oknum ketidakadilan dari laku makanku yang rakus dan terlalu kenyang. Maka ada benarnya menurutku bahwa makan yang sangat kenyang malah malas dan tak bergairah. Aku sadar akan laku ketidakadilanku dan minta maaf pada mereka yang lapar ketika aku makan, maaf karena aku telah begitu kenyang ketika kalian lapar dan maafkanlah aku. Maka tidaklah heran mengapa ketidakadilan dimana mana. Manusia memang jarang peduli dengan sesama dan akulah contohnya ketidakpedulian itu karena nafsu makanku yang besar. Aku bertererima kasih tuhan atas berkatmu dan kasihmu yang selalu menyertaiku dan Yesus my Lord and saviour.

Melirik PILKADA KAL-BAR

Hari ini saya datang ke TPS yang terdekat untuk mencoblos dalam PILGUB Kal-Bar. Saya, sebagai warga negara turut dalam pesta demokrasi tersebut sebagai wujud partisipasi politiku di negaraku ini. Saya memilih salah satu calon dengan sadar dan dengan penuh pertimbangan yang didasarkan pada analisis pribadi. Memang, calon yang saya pilih bukanlah yang baik dan yang ideal menurutku, tetapi menurutku dialah yang bisa kupilih karena beberapa alasan. Pertama, calon itu dekat dengan lingkunganku. Walaupun secara kepempinan saya tidak puas dan bahkan kecewa dengan caranya memimpin dan primordialisme pikiiranya. Tetapi hanya dia yang dekat dan nyata pekerjaanya walaupun tidak memuaskan. Yang lain belum kuketahui dan belum kukenal. Kedua, calon itu merupakan orang yang menurutku berani dalam memimpin walaupun kadang salah dan bahkan terlalu berani. Ketiga, calon tersebut merupakan orang yang memiliki kesamaan ras dan agama . mungkin aku primordial tetapi dimanpun orang selalu cenderung begitu. Liat aja Indonesia, presidenya mesti wong Jawa. Keempat, saya memang gak ada pilihan lagi karena ketiga yang lain tak kuketahui jejaknya.
Namun didalam batinku aku memiliki beberapa pertanyaan tentang demokrasi itu sendiri. Saya menyakini apa yang dikatakan Fukuyama bahwa demokrasi yang sehat belum bisa tumbuh dalam negara yang miskin. Memang menurutku, kita harus makmur dahulu untuk bisa menjalankan demokrasi yang berkualitas. Maka selama kita masih miskin, demokrasi dalah seorang anak yang belum bisa berjalan. Dia akan selalu terjatuh. Hal ini saya katakan ketika melihat banyak PILKADA diseluruh indonesia yang penuh kekerasan dan penipuan. Banyak sekali kekerasan yang dilakukan atas nama PILKADA. Di Maluku dan Sulewesi Pilkada penuh pertengkaran dan kekerasan. Ada ketidaksiapan dalam menghadapi kekerasan dan kekalahan. Maka benarlah apa kata sang bijak bahwa pilihlah orang yang siap kalah dalam pilkada kaerna orang seperti pada umunya bijaksana. Maka saya pun melakukan hal itu. Saya percaya bahwa untuk dapat berdemokrasi, rakyat haruslah terdidik dahulu, dengan itu maka akan tercipta kesadaran politk yang dewasa yang tidak didasarkan pada uang dan kefeodalan lainya. Saya rasa saya mesti menunggu lama untuk dapat melihat hal seperti itu terjadi. Mungkin 50 tahun lagi. Ya iyulah harapanku. Dan saya masih resah dengan pilkada ditempatku karena saya mendengar kabar bahwa ada calon yang belum siap kalah dan saya takut ada konflik etnis. Saya takut akan adanya pertengkaran yang seharusnya tidak terjadi hanya karena ketidakdewasaan berdemokrasi. Maka saya hari-hari ini cemas dengan kampungku.

Sabtu, 03 November 2007

DAYAK: ORIGIN

Most people, when they first hear the world ‘Kalimantan’, the first word that comes up in their mind is ‘Dayak”. They know that Dayak is a tribe which lives in Borneo. Recently, I have been thinking about my origin too. Frankly, I am a half-blooded Dayak only, but I need to know where my ancestors came from. Then I check in my Encarta , I found the history of Dayak.
Dayak, also Dyak, name applied to aboriginal inhabitants of the island of Borneo, particularly to the tribes of the interior of the state of Sarawak. The Dayak are divided into six groups: the Penans, Klemantans, and Kenyahs, who represent the oldest Dayak elements of Borneo, and the Kayans, Muruts, and Iban, who are later arrivals. Physically, the Dayak are the result of long-term admixture of Chinese, Malay, and Negrito peoples. The Iban, known as Sea Dayak and famous as pirates and conquerors, were probably the latest of the Dayak to arrive in Borneo; they alone of the Dayak groups inhabit the coastal region. They bear strong ethnological similarities to the Malays, who came to Borneo in the 12th century. Many Iban have been converted to Christianity, some practice an amalgam of Christianity and traditional beliefs, and some still follow their traditional beliefs.
The other Dayak groups, especially the Kayans and Penans, have maintained their ancient customs, habits, and religious beliefs to a much greater extent. They follow a polytheistic rite of worship that incorporates a system of major and minor gods. The form of worship and the nomenclature of the respective gods vary from tribe to tribe.
The Dayak practice of headhunting, rooted for the most part in religious beliefs, is rapidly dying out. The Iban, formerly the most notorious of the headhunters, have given up the custom more quickly than the other tribes, probably because, living on the coast, they are in more direct contact with other cultures.
The Dayak are skilled in crafts, making fine cloth and excellent iron weapons. They are efficient in the use of the blowpipe for hunting and are noted for the construction of serviceable bamboo suspension bridges. Rice cultivation, hunting, and the gathering of wild fruit are their main means of subsistence. The Dayak population of Borneo has been estimated as slightly more than 1 million.
In recent years the traditional lifestyles of the Dayak have become increasingly endangered by industrialization, logging, and forced government resettlement. Many Dayak have been active in the struggle to save their forest homeland.
Microsoft ® Encarta ® 2006. © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved.

AMUI…..MURIDKU

Beberapa hari yang lalu, saya tidak ingat persis harinya, saya mendapat sebuah kiriman SMS. Kiriman SMS tersebut berasal dari salah satu muridku waktu saya mengajar di Riau dulu. Muridku itu, yang namanya Leny, dan sering kupanggil Amui karena memang dia ras Cina dan sangat putih. Kiriman SMS dari Leny tersebut telah membuatku kembali menggingat kembali cerita –ceritaku di Riau dulu. Pada waktu itu, aku menangani sekitar empat kelas siswa yang jumlahnya sekitar 150 siswa. Mereka adalah anak-anak muda yang ceria dan bergairah. Ada kelas yang mayoritas penghuniya adalah kaum hawa, dan rame sekali. Ada yang nakal, ada yang kalem banget dan bahkan ada yang lebih dewasa. Leny adalah salah satu muridku itu.Dia mengirim SMS padaku bahwa dia sudah kangen dan yang istimewanya lagi menurutku, dia masih ingat akan gurunya ini. Sekarang aku ingat akan kebenaran pepatah umum yang bunyinya “guru tidak pernah mati”. Di saat ini saya melihat kehebatan pengaruh seornag guru terhadap muridnya. Guru akan selalu diingat oleh muridnya, seperti Leny yang masih ingat akan gurunya ini. Malam ini saya membalas SMS leny dan dia mengatkan senang banget bahwa saya masih ingat dia dan Leny sekarang kuliah di Medan mengambil jurusan Sistem Informatika. Sebagai gurunya, saya berharap Leny dapat sukses dan bahagia karena keberhasilan seorang guru tergantung dari keberhasilan muridnya. Maka tiada kata lain yang ingin kuucapkan yaitu terima kasih untuk guru-guruku. Terima kasih atas jasa-jasamu



Kristian

There is a thief in our home

There is something wrong in our home. There is an untrustworthy person.
This afternoon, when I came home from school, there was a piece of inconvenient news. The news was someone had stolen some money from the shop. The stolen money was estimated around 300 thousand Rupiah. And it has something to do with me. Here is the story. As usual, everyday I keep the phone shop from afternoon till 9 pm at night. After going home from school, I take care of myself and be ready at the shop to help my sister in-law. My sister in-law usually goes with her friends at night and she often asks me to replace her position. Last night, as usually, I kept the shop till 9 pm and then I closed the shop. Before closing the shop, I counted the money which was around 300 thousand Rupiah or more then I locked the drawer and put the key in the room in which my sister sleeps. I usually put the key there since my sister in-law does not live in the same home. She lives in her own home. This morning, when I came home from school, she asked me a question, “did you bring along the money with you?” As I usually do. I said “no, I didn’t” I left all the money in the drawer. Then we understand that the money was stolen and the thief might be someone inside the home. We don’t know yet who stole it. This is the second incident in this month. First, my real sister’s money was stolen few weeks ago. The amount was 300 Malaysian Ringgit. The incident happened at daylight too. Till now, we have the accused already but we haven’t got the proofs yet. To some extent, I felt a bit uneasy with my sister in-law because she had lost some of her money. I feel that there is a burden in me to find the thief and prove that someone has to be responsible for his action. The suspected man is her brother. He has a bad record in the history of stealing his own family money. I don’t know what to say about him. I am blind and I don’t fit well with him. A reason why I don’t get along with him is in my observation he is a drug user. He has had a therapy in Bogor but I think he has not changed. He still likes going to pub, discotheque and such kinds of places, in which he is close to drug. I am pity on him to a certain extent and to his parents. He is almost 40 years old. I am so sorry for the stolen money and for the story.

Hidup Memang Sulit

Baru-baru ini, hidup memang terasa sulit bagiku dan bagi keluargaku. Ada yang harus pulang dari pulau diluar sana dengan rasa kecewa dan khawatir akan masa depan keluarganya. Ada yang mengalami masalah dengan mertuanya dan ada saja yang masih berkutat tanpa sadar dengan jahatnya narkoba. Memang, kadang hidup memang amat sulit dan bahkan kadang menjepit dikeadaan yang amat sempit. Ya....memang itulah kehidupan karena mesti ada proses belajar didalamnya. Kadang ada yang menyikapi hidup dengan kesabaran yang cukup, ada memang yang agak terlalu cepat mengambil keputusan. Ya...memang itulah hidup yang harus tentunya memiliki bumbu yang seperti dalam masakan kadang membuat enak dan kadang tidak. Pengalaman-pengalaman yang saya lihat tentang hidup berkeluarga, dengan mertua, dan saudara, memang kadang membuat saya agak phopia terhadap apa yang disebut pernikahan. Mungkin juga saya mengidap marriagephobia yang membuat saya was-was dengan hal yang berhubungan degan perkawinan. Masa ini, hidup dikeluargaku memang agak susah dan terasa sulit. Memang tidak semuanya sulit. Tapi memang untuk menjadi lebih baik, perlu masuk sekolah hidup susah dan kesulitan. Memang untuk sukses orang harus ditempa dengan kesusahan dahulu dan saya harap itulah ujian yang sedang dihadapi keluargaku khususnya kakaku dan abangku. Memang saya belum berkeluarga, namun hal seperti ini bisalah kiranya menjadi cermin yang memancarkan pelajaran yang hidup yang tak didapat dibangku kuliah. Pelajaran-pelajaran mengajarkan saya untuk lebih siap dan bahkan berhati-hati mengambil keputusan tentang kehidupanku.
Pada saat sekarang, saya juga belajar bahwa ada manusia yang menghadapi realitas dengan cara yang pada dasarnya tidak sesuai dengan realitas tersebut. Memang bagiku pribadi, hidupku memang sulit dan aku tentunya tidak harus takut akan kesulitan itu. Namun tentu saya berharap kesulitan itu menempaku sedikit lebih baik dalam hidupku. Lalu kadang saya bertanya pada diriku dan Tuhan, apakah hidupku memang harus sesulit ini? Untunglah, saya mengikuti slogan sebuah rokok dalam hidupku juga Enjoy Aja

Hari-Hari InI

Hari – hari ini, saya tidak banyak melakukan apapun dirumah. Saya tidak punya buku baru untuk dibaca, tugas baru untuk dikerjakan, ataupun sesuatu untuk dilakukan. Hari-hari ini memang agak menjemukan. Disekolah, saya hanya melakukan rutinitas mengajar anak-anak Dayak yang memang tanpa maksud merendahkan kemampuan Bahasa Inggrisnya payah sekali. Bahkan ada yang sudah kelas dua masih berkutat dan tidak mengerti dan tahu arti kata ‘write’ dan memang kerja guru berat dinegeri yang bodoh terhadap pendidikan bangsanya. Dirumah, saya hanya membantu kakaku dengan menjaga tokonya dan kadang-kadang mengantar bahan bangunan kelokasi pekerjaan. Dan memang, inilah hari-hari yang sedang kujalani sekarang. Hari-hari ini, saya juga belajar akan arti kehidupan didalam negara yang masih begitu miskin ini. Saya belajar menghargai kehidupan karena melihat kemiskinan yang sebenarya lebih gampang dilihat dikota yang besar seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja dll. Kemiskinan mengingatkan saya ketika saya mengantar barang kesuatu lokasi pembangunan SDN yang lokasi cukup jauh di suatu dusun yang bernama Nuyung. Dengan daerah yang begitu luas dan pepohonan yang cukup banyak, Nuyung bukanlah tempat yang mengerikan. Tetapi didusun ini juga terlihat dengan nyata bahwa kemiskinan sedang menghimpit negara kita yang orang kayanya terus bertambah. Ada gubuk kecil yang beratap sagu dengan lantai alam yang bersahabat yaitu tanah. Ada anak-anak kecil yang pergi menyadap karet yang semestinya kesekolah. Inilah wajah kemiskinan yang saya lihat dan pelajari saat itu. Inilah realitas keadaan negara ini. Dan memang saya tidak tahu apa yang kita telah perbuat. Memang, ada kabar gembira dari dusun ini yaitu SDN mereka akan segera diperbaiki total sebanyak empat ruang. Tapi saya bertanya dalam hatiku, apakah ada guru yang bersedia ditempatkan disitu?. Berdasarkan pemahaman saya, jarang sekali guru yang mau, kalaupun ada hanya segelintir dan pada umumnya sekolah dasar dikampung-kampung kekurangan guru. Disekolah hanya ada dua atau tiga guru termasuk kepala sekolahnya. Inilah potret pendidikan negara kita yang para pembesarnya ingin menerapkan Ujian Nasional demi peningkatan mutu. Ah...saya pikir tuan-tuan besar itu hanya bercanda saja. Mau UAN dengan siswa kelas enam SDN yang membacanya masih terbata-bata? Mau UAN dengan gurunya yang masih menyadap karet dipagi hari? Pasti pak menteri tidak berkaca dulu di cermin pendidikan Indonesia. Wajah kemiskinan kita telah memberi kita pelajaran, terutama bagi saya. Wajah itu telah menyadarkan aku tentang betapa tingginya nilai pendidikan itu. Maka bagi saya hari-hari ini juga berbicara secara tidak langsung mengenai identitas bangsa ini.
Hari-hari ini, kotaku juga sedang sibuk dengan pesta demokrasinya yang disebut PILKADA GUBERNUR. Dan saya pun ingin bertanya apakah demokrasi memang mengejar kekuasaan? Tidak perlukah kedewasaan dahulu didalam berdemokrasi. Hari-hari ini saya menyaksikan kepicikan berpikir warga bangsa ini yang menjual suku untuk menang. Yang mengatas namakan golongan untuk meraih kekuasaan. Dan memang nampaknya pulauku belum siap berdemokrasi. Kita tidak menilai calon pemimpin berdasarkan pelayanan publik yang diberikanya, tetapi dari sukunya dan itu menunjukan kebodohan kita. Dan memang kita belum siap. Maka benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Francis Fukuyama bahwa demokrasi yang sehat belum bisa tumbuh dinegara yang masih miskin dengan pendapan perkapita dibawah 600 USD dan pendidikan yang tak bermutu. Maka demokrasi tak ubah permainan anak-anak. Dan itulah yang terjadi. Saya tidak tahu apakah saya harus memilih atau diam saja. Memang saya akui rasa kesukuan kadang meghampiri dan berkata “ayolah ikuti sukumu’ demi untuk membalas penindasan yang pernah terjadi. Dan merupakan hal yang lazim bahwa yang berkuasa menekan yang minoritas dan lawanya tanpa ampun. Tapi sehatkah? Tidak rasaku. Dan hari-hari ini saya memang binggung karena dunia yang semakin binggung.


Peace and Love



Kristain

TERJEBAK

Malam ini, saya terjebak pada hal yang sama yang menghampiri saya yaitu Kebosanan dan Kesepian. Saya tidak mengerti mengapa kedua hal ini kadang-kadang datang bersamaan. Hari ini saya bosan melihat tingkah anak-anak kelas tiga yang membuat onar ketika apel pagi dengan tidak menghargai pembina yang sedang bicara dan bahkan berani menjawab pembinanya dengan lancang. Saya bosan melihat sikap mereka yang tetap bebal dengan apa yang dikatakan dan tidak sadar akan tugasnya sebagai pelajar. Mereka tidak sadar bahwa UN semakin dekat dan saat ini bukanlah saat berbuat onar. Mungkin memang guru membuat kesalahan atau terkseleo lidah saat bicara didepan. Tapi, menghormati tetaplah suatu kewajiban dan orang yang bijaksana adalah orang yang banyak dan mampu mendengar dengan proaktif. Hari ini, saya juga agak sedikit kesal dengan seorang gadis yang merupakan anggota guru disitu yang selalu menggangap dirinya paling cantik, montok, seksi dengan perkataanya yang tanpa melihat perasaan guru lain. Memang, dia cantik, tapi gak harus narcistik kan? Itulah sebabnya saya kadang tidak mengerti dan memilih untuk diam saja atau pergi kekantin ketika istirahat atau main komputer ketika tidak ada jam mengajar. Saya kadang agak merasa risih mendengar gadis itu bertanya dengan guru lainya; apakah pantatku montok, dadaku sedang dll bahkan kepadaku dan aku lebih memilih mengiyakan saja. Memang, laki-laki harus jujur bahwa kita suka wanita cantik tapi kita mesti melihat lebih dalam dan nampaknya ia terlalu bangga akan kecantikanya. Hari ini, kita memutuskan untuk memberi anak kelas tiga semacam hadiah atas kekurangajaran mereka dengan menjemur mereka seharian. Semoga mereka belajar dari pengalaman itu. Pagi ini, saya mengajar empat jam dikelas dua dan saya mengajarkan mereka cara mendeskripsikan penampilan fisik dalam bahasa Inggris dan menurutku mereka cukup antusias. Memang dijaman sekarang, murid selalu banyak bicara dan susah untuk diajak tenang. Tapi itulah resiko seornag guru.

Love

Kristian

Kamis, 25 Oktober 2007

My Confession

In these few days, I have heard a lot of stories from many sources; friends, relatives, workmate and others. A friend of mine in Jogja told me that this week she is having her thesis defense on Saturday. I told her that I am happy to hear that finally she can complete her studies. This girl is my close friend in Jogja and we are from the same beloved island, that is, Borneo. I told her to be relaxed in facing the test and be prepared for some common questions. Actually, I have a few things that I like from this girl, but one thing I like most from her is the way she speaks, so funny and typical. From my sister, I got some bad news. She is having a problem that is quite difficult to be solved. She is facing it now and trying to find the solution. I am sad when I heard the news, but I realize that life is never without problems. Problems are the spices of life. They make life meaningful and strong. I have prayed for her and she has got a solution, though it might not be the best for her family. I think we have to be ready with every possibility in our life. If there is a school where I can learn to survive, I definitely will enroll myself. In my island, my high school friends told me that there was a reunion party in Sanggau. Unfortunately I couldn’t come to the party coz my sister went to Pontianak so nobody kept the shop. My friends told me that we will design a program. I don’t know what the program is. At school, we have an event to celebrate “language month” by carrying out some games such as debate, speech and writing contest. I take part as one of the judges in the committee. This event is to help students’ language competence particularly their foreign language competence. Some students came to my home to ask me to teach them English. I haven’t decided whether to accept or reject their request. I am in doubt because two problems. If I say yes, I cannot decide at which price should they me? I believe nothing is free. But charging them 10 thousand per month they say is expensive. I am confused. I know that most of my students are from remote areas. To teach them freely is also not a wise job. I have to prepare materials, place and mostly my mind. That is why I always believe that good education needs good money. Maybe I am materialistic or whatever. My ex boarding house friend in Jogja also told me that he had finished his studies there and now he is going to leave Jogja in the coming month after attending the graduation day. Life has passed so fast and I have not felt so. Everyday many things come and go from my life. Frankly speaking I am still confused with what I am searching for in my life. For the time being, I just go with the flow.


Peace and Love


Kristian

KEKERASAN MEDIA

Sore ini, saya duduk dimeja belakang yang kecil di dapur yang agak sempit sambil menahan rasa lapar yang mulai menyerang perutku seolah ia ingin berkata “saya ingin makan”. Saya duduk sambil termenung di didepan laptopku yang sudah usang dan mulai menulis kata-kata ini yang sesungguhnya saya sendiri binggung mengapa saya ingin menulisnya dan menceritakanya kepada orang lain. Tetapi saya percaya kepada para pujangga bahwa kata-kata memiliki kekuatan yang tak terbatas dan menembus dinding perbedaan. Saya mulai binggung ketika ingin menulis kalimat-kalimat ini dan mulai bertanya apa yang harus saya tulis?. Lalu secara tiba-tiba saya teringat tentang sebuah buku yang sudah saya baca beberapa minggu yang lalu yang berjudul “Etika Komunikasi” yang ditulis oleh romo Haryatmoko, dosen ditempatku kuliah. Secara jujur saya akui saya belum khatam benar isi buku itu, namun saya sangat tertarik pada bagian yang berbicara tentang kekerasan dalam Media. Kita tahu dan bahkan sadar tentang apa yang pernah dikatakan oleh Jakoeb Oetama, pendiri harian Kompas, bahwa masyarakat kita sekarang sedang mengalami migrasi dari budaya melek huruf ke budaya menonton. Masyarakat kita sekarang hampir jarang menggunakan waktu untuk membaca, namun lebih banyak sekali menonton TV. Maka bagi saya buku tersebut sangat merangsang untuk dibaca tentang perkembangan media di indonesia. Karena saya belum khatam, pada bagian ini saya hanya ingin membahas salah satu unsur yang diangkat dalam buku tersebut yaitu Kekerasan Dalam Media.
Secara jujur, menurut pengamatan saya, media sekarang khususnya TV pada umumnya menayangkan program-program yang sama sekali tidak mendidik dan tak berkualitas. Saya cenderung mengatakan kebanyakan sinetron adalah SAMPAH yang meracuni cara berpikir masyarakat terhadap dunia nyata. Dan tanpa harus menuduh, media TV sekarang pada umumnya mengandung kekerasan yang sangat berdampak pada penonton. Didalam buku terbarunya itu, Haryatmoko yang mengutip Pascal Lardellier mendefinisikan kekerasan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan[18]. Kekerasan mengandung unsur dominasi terhapad pihak lain baik dalam bentuk fisik,verbal,moral,psikologis. Menurutnya logika kekerasan merupakan logika kematian karena bisa melukai tubuh,melukai secara psikologis,merugikan dan menjadi ancaman terhadap intergritas pribadi. Didalam media, kekerasan sering terkait dengan penggambaran yang memungkinkan gambar bisa melemah dan membuka suatu dialektika banalisasi dan sensasionalisasi. Pengambaran kekerasan dimedia kadang sangat sulit dibedakan antara yang riil, simulasi,hiperriil, dan bohong. Haryatmoko mengatakan bahwa semua gambar dan teks dalam media diatur sedemikian rupa sehingga keyakinan pemirsa akan kekerasan ingin menemukan ilustrasi begitu keluar menjadi lebih dikuatkan. Kekerasan dalam media menurutnya lebih lanjut mengandung aspek dualisme yaitu aspek estetik dan destruktif. Disatu sisi, kekerasan membuat kita muak dan merasa jijik. Sedangkan disisi lain mengundang ketertarikan untuk diamati. Didalam media kekerasan menempatkan kinakmatan dalam perjumpaan antara keindahan dan kematian[121]. Maka jika kita tidak kritis, akan sangat sulit membedakan dan melihat kekerasan dalam media massa. Menurut Nel, ada tiga bentuk kekerasaan estetik didalam media yaitu horor regresif, horor transgresif dan gambar –simbol. Kekerasan dalam bentuk horor regresif mau menunjuk pada selera publik akan kekejaman yang menyeramkan dan melampaui akan sehat kita. Perhatian diarahkan pada yang riil namun tidak harus otentik. Motif utamanya adalah digerakan oleh ketertarikan pada hal yang meneror dan merinding. Horor transgresif pada intinya berupaya menayangkan kekerasan dalam konfigurasi seni yang baru pada bagian yang belum terekplorasi dang terlarang. Dalam gambar –simbol, mengajak penonton melampaui tatanan rill yang kontekstual. Kekerasaan ditolerir sehingga akhirnya mejadi indah. Sebagai contoh kekerasan Che Guevara. Pengarang juga dengan jelas menerangkan bahaya kekerasan dalam media terhadap masyarakat dengan memaparkan hasil penelitioan APA[American Psychological Association ] tentang efek kekerasaan dalam media TV diAmerika. Menurt studi tersebut ada tiga efek negatif kekerasan media.
Pertama, merepresentasikan kekerasaan dalam media meningkatkan prilaku agresif masyarakat. Kedua, menonton kekerasaan secara berulang-ulang dapat menyababkan ketidakpekaan terhadap kekerasan dan penderitaan korban karena ada proses depersonalisai manusia. Tiga, dapat meningkatkan rasa takut pada masyarakat yang menciptakan paradigmanya tentang dunia. Kita dapat melihat betapa bahayanya efek kekerasan dalam media terhapad mereka yang rentan terutama anak-anak dan orang muda. Untuk memahami kekerasan dalam media, kita harus mengerti bahwa didalam media terdapat tiga tipe dunia yaitu dunia rill atau nyata, dunia fiksi, dan dunia virtual. Masing-masing dunia media ini memiliki bentuk kekerasanya tersendiri. Maka kekerasan dalam media juga dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu kekerasan dokumen, kekerasan fiksi dan kekerasan simulasi. Kekerasan dokumen merupakan penampilan gambar kekerasan yang dipahami pemirsa dengan mata telanjang sebagai dokumentasi fakta kekerasan misalnya pembunuhan,tawuran.kekerasan dokumen tidaklah selalu negatif karena kadang-kadang menibulkan rasa iba. Kekerasan fiksi merupakan representasi kekerasan yang keluar dari dunia riil dan jauh dari dunai nyata namun mampu menjadi pijakan dalam analogi dunia rill.kekerasan simulasi adalah kekerasaan yang melampau dunia rill dan penuh tipuan dan simulasi namun penonton tidak menyadarinya dan menggangapnya rill misalnya smack down. Kita, sebagai konsumen media haruslah kritis dan cerdas dalam proses seleksi tontonan program yang kita saksikan untuk menghindari kekerasan media yang sangat merugikan bagi generasi muda kita.


Peace and Love


Kristian

Sabtu, 20 Oktober 2007

Unbearable Pain: Kekejian Manusia

Jahanam, anjing dan bangsat, adalah kata-kata pertama yang terlintas dibenakku untuk Nazi ketika aku membaca sebuah novel berjudul Malam, the night atau dalam judul aslinya la nuit yang ditulis oleh seorang penerima nobel sastra Elie Wiesel tentang pengalamanya sebagai seorang anak di kamp konsentarsi Nazi autscwitch. Novel yang diberikan oleh teman sangat spesial saya itu menginggatkan saya bahwa kadang manusia dapat bertindak jauh lebih buas dan biadad dari binatang. Binatang pada umumnya membunuh untuk makanan dan pertahanan, tetapi manusia dapat membunuh untuk menikmati sensansi dan fantasi tindakan kekejian itu sendiri. Saya kadang terperangah dan seakan hampir – hampir tak percaya bahwa ada manusia sekeji dan segila semacam Hitler, Eichman. Bukankah kita diciptakan dengan hati nurani dan kesadaran moral seperti yang Kant katakan? Saya masih ingat gambaran yang dipaparkan Wiesel tentang malam pertama dikamp tersebut sebaigamana tertulis dihalaman 51:

Takkan pernah kulupakan malam itu,malam pertama dalam kamp, yamg telah menyebabkan seluruh hidupku menjelma menjadi malam yang tak berkesudahan, tujuhkali terkutuk dan tujuh kali terkunci.

Kadang saya pun tak mengerti, mengapa manusia bisa begitu kejam pada manusia lain, bahkan pada bayi-bayi mungil sekalipun. Nazi dengan tenang dan tertawa membakar tubuh-tubuh mungil itu dikrematoruim. Mereka memang manusia laknat. Saya percaya bahwa hal semacam ini adalah dikarenakan karena keakuan yang begitu tak terkontrol seperti Nazi yang beranggapan bahwa klan Arya yang paling tinggi derajatnya jadi Yahudi harus dibersihkan dari muka bumi. Dan tentu di jaman sekarang masih ada orang yang berpikir demikian. Wiesel yang masih hidup sampai sekarang juga mengajarkan saya bahwa kekejaman yang tak tertahankan kadang-kadang menyebabkan kita mempertanyakan keadilan tuhan dan cenderung dapat merontokan iman kita. Mungkin saya juga akan bertanya hal yang sama seperti Wiesel, bagaimana tuhan mengijinkan mereka membakar bayi-bayi itu didepan matanku? Tuhan mesti sudah buta dan tak ada. Mungin saya juga merasa bahwa pada saat itu tuhan juga telah mati. Memang bagi saya Wiesel telah memberikan pelajaran bahwa hal seperti itu harus lenyap diabad sekarang ini. Wiesel ingin menggingatkan kita jangan sampai kita mengulangi sejarah kelam. Saya menitikan air mata dan terdiam ketika membaca novel itu. Novel itu juga menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang rakus akan harta benda. Bahkan dengan menyakitkan manusia lain sekalipun. Saya masih ingat bahwa ada seorang tentara Nazi SS yang mencabut gigi emas seorang yahudi dengan mengunakan Tang tanpa bius, Aduuhhhhh betapa kejinya. Novel ini telah mengingatkan saya dan pembaca lainya untuk menjadi manusia yang manusiawi dan memiliki landasan kasih. Membaca novel itu membuat saya merinding memikirkan sakitnya dan kekejian Nazi. Dan saya tahu betapa sakitnya ketika suatu pagi saya menonton acara Oprah yang membahas tentang Holocaust. Didalam tayangan tersebut, Oprah membawa Wiesel di kamp tempat dia dulu dan minta Wiesel menceritakanya kembali. Wiesel bergetar and berlinang air mata dan bahkan tak mampu melangkahkan kakinya. Ditempat keji itu dia melihat ayahnya,ibunya,adiknya dibakar hidup-hidup. Dapatkah anda menahan sakit itu?saya tak sanggup dan tak mampu menjawabnya. Memang Nazi telah mati dan Hitler pun telah bunuh diri, tetapi ingat hal-hal seperti ini dapat mejelmakan diri dalam bentuk-bentuk lain. Menurut saya masih ada Hitler-Hitler yang lain seperti majikan yang menyetrika tubuh pembantunya, ayah yang menganiaya anaknya sampai mati, anak yang membunuh ayahnya, adalah bentuk kekejian baru yang mencoba menggingtkan saya pada Hitler yang gila itu. Anda tahu bagaimana Hitler mebunuh anak muda and orang tua yahudi yang sudah lemah dan tak mampu bekerja lagi? Mereka disuruh masuk kedalam ruang atau chamber disuruh mandi, lalu dikunci dan dimasukan gas beracun Zyclon B yang mematikan itu dan mereka seperti tikus yang mati. Tak ada harga lalu dibakar. Ceritanya pun hilang. Tidak ada penghargaan jiwa dan tubuh. Lalu maukah kita seperti itu? Menjadi Hitler-Hitler lain seperti di Malaysia dan itupun karena keakuan mereka.kadang-kadang memang seperti tidak nyata apa yang diceritakan dan bahkan tak mampu membayangkanya. Dan sampai sekarang saya terus bertanya MENGAPA? Tetapi ada secercah kebahagian bagi saya ketika Wiesel bisa memaafkan Nasi dalam bentuk yang hampir sama yang diungkapkan Ibu Teresa : saya memaafkan namun tidak melupakan mereka. Kita memaafkan mereka karena kita tidak bisa hidup dalam masa lalu karena orang yang hidup dimasa lalu akan selalu di hantui masa lalu, tetapi kita tidak akan membiarkan masa lalu terulang dimasa depan. Sebagai manusia, kita, harus berusaha supaya hal semacam ini tidak terulang dalam sejarah peradaban manusia. Mari kita menunjukan laku cinta kita kepada sesama.


Peace and Love


Kristian

Pak Goenawan Mohamad, Cinta, Rasa

Emang sejak jaman kuliah dulu in Jogja, saya termasuk orang yang suka ngendon di perpustakaan Sanata Dharma berjam-berjam tiap sore. Biasanya saya pergi keperpus jam empat sore sampai jam delapan atau tujuh malam. Jujur, tujuan saya keperpus tidaklah selalu untuk membaca, adakalanya saya keperpus untuk mencari tempat yang sejuk, harum dan ideal untuk liat-liat cewek atau sekedar melamun. Namun sangat jarang sekali ketika keperpus saya tidak membaca sesuatu, paling tidak saya baca koran, majalah, tabloid dll. Biasaya saya juga mencari buku-buku yang baru terbit. Pada suatu hari, seingat saya, saya langsung kelantai empat perpus untuk membaca koran-koran, majalah dll. Tentu, pertama-tama, saya mencari kompas dan membaca opininya dahulu dan majalah lain, lalu tibalah giliran saya membuka majalah tempo mingguan, saya buka depanya, balik sini sana, dan pada bagian paling akhir, alias halaman terakhir terpampang sebuah esai bejudul ‘seks’[saya tidak ingat edisi kapan] oleh Pak Goenawan Mohamad. Lalu saya memulai membaca tulisan itu yang menceritakan pengalaman dan pandangan Pak Goenawan tentang seks. Dia memulainya dengan menceritakan pengalamanya menonton film blue[saya sendiri binggung mengapa film porno kok dibilang film blue, padahal blue kan biru, apa karna pertama yang tampil dilayar pada biru?] di Eropa, mungkin ketika beliau belajar disana. Dia mengatakan bahwa seks justru bisa tidak memiliki semacam daya tarik sama sekali. Dia mengatakan pada waktu mulai film bluenya dia tegang, lalu mulai, sangat tegang dan akhirnya dia tertidur pulas. Pengambaran seks yang berulang ulang dan pada akhirnya akan menjemukan karena tidak ada rahasia lagi, semua sudah terungkap. Dia membuktikan ketelanjangan selamanya tidaklah porno.
Membaca karangan pak Goen tersebut saya berpikir kembali dan bahkan boleh dikatakan tersihir oleh tulisan beliau. Cara beliau menulis, pengetahuan beliau yang lintas disiplin dan pandangan yang terbuka membuat saya pada waktu itu mulai menyukainya. Saya memang secara jujur telah tahu tentang beliau dan bahkan pernah membaca catatan pinggir beliau. Mungkin juga boleh dikatakan sering tapi sangat jarang sekali saya membaca dengan serius dan mulai memikirkannya lagi. Dari tulisan timbul kecintaan akan karya beliau. Kembali ke capingnya yang judulnya seks tadi, saking saya belum puas membacanya dengan detail, saya memutuskan untuk memfotokopi caping tersebut dan membacanya lagi dikos saya. Saya juga memberikan potokopiannya keteman saya. Bagi saya Pak Goen adalah seorang muslim yang ditengah tengah, dia muslim secara keturunan tetapi juga kristen secara pemikiran. Pak Goen sangat terbuka dan toleran tentang agama dan pemahamanya sangat begitu luas[malu saya karena saya baru saja belajar menulis, masih seperti anak SD]. Setelah saya pulang kampung ke Kalimantan, saya sudah cukup jarang membeli Tempo, maklum guru kan gajinya kecil, namun saya ingat saya pernah membaca yang judul caping Pak Goen yang judulnya Ayaan. Tulisan itu juga sangat bagus. Baru-baru ini, sekolah tempat saya mengajar membeli modem untuk keperluan khusus, lalu saya mempunyai kesempatan untuk surf dinternet tentang Pak Goen. Wow... saya senang sekali ketemu kumpulan caping caping Pak Goen. Saya mengkopi beberapa yang saya suka dan saya baca ulang lagi. Ada salah satu caping Pak Goen yang oke banget dan membuat saya terharu ketika membacanya antara lain yang judulnya ‘Murtad’ disitu pak Goen menegaskan bahwa memilih agama adalah hak azazi dan pribadi seseorang dan juga menggambarkan tentang pak Goen sendiri yang sangat toleran dan berpandangan terbuka tentang agama. Berikut salah satu kutipan salah satu bagian caping itu.
“ Memang harus saya katakan, saya seorang Muslim karena orang tua
saya. Tapi saya sebenarnya bebas untuk tak mengikuti garis itu-
sebagaimana orang-orang Arab dulu bebas untuk tak mengikuti
kepercayaan nenek moyang mereka dan memutuskan untuk mengikuti Rasul
Tuhan, dengan risiko dimusuhi keluarga sendiri dan masyarakat
sekitarnya”.
“Memang harus saya katakan, saya memilih tetap dalam agama saya
sekarang bukan karena saya anggap agama itu paling bagus. Saya tak
berpindah ke agama lain karena saya tahu dalam agama saya ada
kebaikan seperti dalam agama lain, dan dalam agama lain ada
keburukan yang ada dalam agama saya. Sejarah agama-agama senantiasa
terdiri atas bab-bab yang paling represif dan buas, tapi juga pasase
yang paling mulia dan memberikan harapan. Agama menyumbangkan kepada
kehidupan manusia secercah kesadaran, betapapun mustahilnya keadilan
akan datang, nilai itu - dan segala sifat Allah - tetap memberi
inspirasi. Agaknya itulah yang berada dalam inti iman”.
Bagian ini menggambarkan pandangan pak Goen tentang agama yang dianutnya dan pandangan terhadap agama lain. Saya sangat menggagumi beliau mulai saat pertama menbaca capingya dan sampai sekarang. Kita tahu betapa sulitnya mencari orang seperti beliau dinegeri yang hukumnya kadang tidak berlaku bagi sekolompok pecinta kekerasan. Didalam capingnya Pak Goen, terdapat pengetahuan yang bisa menimbulkan rasa, dan rasa tersebut dapat menimbulkan cinta dan saya tersihir oleh cinta tersebut. Beberapa hari ini saya sudah membaca caping pak Goen yang judulnya Myanmar, Puasa, makam dll dan they are all amazing and inspiring essays.

Last but not least, let me say something about you, Pak Goen. You were born to enlighten us, younger generations. Writing is your breath, and to some people , breath and God are alike. Then your writing is breath and God to you. Death, to you, does not mean that you die biologically, or your body is defunct, death to you is when you cannot write anymore.


Thank and Love


Kristian

Kamis, 11 Oktober 2007

On Modernity

The word ‘Modernity’ and Modernism’ [I guess the words are different in meaning] has been familiar to our ears. Most people, I think, have heard the word Modernity many times. Recently, in the school, I’ve heard one of my students said ‘HPmu sangat moderen ya’ and that word caught me at glance and made me ask myself: What is Modernity? What makes us modern? I do not know really know the meaning of modernity. So I looked for the meaning of modernity in the dictionary. For sure, the word modernity derived from a Latin word moderna meaning that New, the latest one. But then, I kept asking my self what makes someone can be called modern? What criteria are used to be called modern? Can I be called modern because I have the latest Mobile phone series? Or having the new PDA? Do I become modern when I wear stylish fashion as young people wear? Such questions come up in my mind again and again. If what we have determine our modernity such as mobile phone, fashion etc, it seems that modernity or modernization is nothing but westernization.
A month ago, I asked a friend of mine in Jogja to buy me a book. The title of the book is Melampaui modernitas dan positivisme written by F.B Hardiman, a lecturer at STF Driyarkara Jakarta. In his book, the author says that there are several characteristics of modernity. Firstly, modernity means becoming progressive. Modern people think progressively, they try hard to become better persons day to day. They try hard to improve their skills and knowledge. Secondly, modernity means becoming reflective. Modern people reflect whatever they do. Reflective life is what they always do. The main purpose of reflection is to improve their life. Modern people believe on what philosophers say ‘that life which is not reflected is not a worth living life’. Thirdly, modernity focuses on the subject of life. Modernity puts humanism, univeralism, ethics and democracy as its main breaths. Modernity does not include materialism, hedonism and others as its main menus; they are just seasonings/spices of modernity. So the results of knowledge such as TV, Mobile phone, PDA are just spices of modernity. They are not the main menus of modernity. So, if you have the latest PDA, mobile phones, computers, YOU DO NOT BECOME DIRECTLY MODERN. You have just the spices. Your thinking does make you modern. If you are open minded, tolerant, affectionate and humanistic to others, then you are modern. Fourthly, modernity means becoming critical. Modern people do not accept everything for granted. They do not just receive any dogmas or beliefs without criticizing them. Modern people are critical. They do not really like the so called MYTH and a kind of. They do not believe DUNIA LAIN. They put aside those kinds of thinking and use their intellectuality a lot. They like to hear the term ‘rationality or rational’. It does not mean they are arrogant. They are just honest to themselves. Don’t we believe that rationality has brought a change in our civilization? It has created betters things to use but also has brought us to the edge of death like Global Warming.
Now, we can all ask ourselves. Am I modern? Do I possess the spices of modernity that make me arrogant? What does modernity mean to me? I have shut up my student’s mouth that was arrogant because he has a cool motorbike. Now he has known what modernity means. Let’s us think ourselves. And I think my position is the middle of modernity and primitivism.


Peace and Love



Kristian

Being Sad and Stressed

Human’s responses to life’s sorrow, hardship and sufferings can vary in different ways. Some people can endure the life hardship, sorrow and suffering better than others and make them even stronger in facing life. Some cannot endure and withstand the life sorrow and those life problems make them stressed and sad. These people sometimes get mad or lost their mind. I do believe that life without problems or hardships is not a life, and indeed, there is no such life. Life is created with joy and problems. It is a package. No one can live a life without a problem. Every life has problems.
Recently, I have got a piece of bad news from someone in Java. She is my sister and I love her so much. She has got problems in her life. The problem is that she cannot endure the life hardship that she is facing now. She is sad now and often cries alone. I know that I have not got married yet, but I do believe that we’ve got to be strong when we face problems. She is in a difficult situation now and I have prayed for her. I prayed to God Jesus that she can get over the problems very soon. I hope that she can get fatter again and be relaxed in facing life. I feel really sad when I heard that she has got problems and often feels alone in Java. Our big family has asked her to go home for a while in West Borneo to calm down and take a relaxation to soothe her life.
Through this writing, I implore to you reading this blog, please pray for my sister that she can be patient, persistent and always surrender herself to God so that Jesus can help her and give her Guidance.
Dear Jesus, in my deepest heart, I thank you for giving us life
I thank you for letting us see this world
I pray to you now, please help my sister and guide her in your way
Take care of her, please bless her everyday, give her strength and power to strive and survive. Bless her with a patience and love
Give her good health and good husband
Help the two of them in facing life problem
Give them wealth and hopes
Jesus, I pray in the name of Jesus
Amin

I dedicate this writing for her. I always pray that she will be much better in the coming days and be healthy again. Thank you for reading this blog. God bless you.


Peace and Love


Kristian

Rabu, 10 Oktober 2007

Bulan Puasa

Setiap tahun, umat muslim di Indonesia sangat antusias menyambut bulan puasa. Bagi umat muslim, bulan tersebut adalah suatu momentum yang tepat untuk memperbaiki diri dan melakukan refleksi diri secara mendalam. Puasa bagi kebanyakan umat muslim adalah waktu untuk mempraktekan kesabaran dan kemampuan terhadap godaan yang bersifat destruktif dan menggangu ibadah puasa. bulan puasa adalah waktu penyucian diri. Maka, puasa bearti penguasaan diri dan kesadaran penuh akan refleksi iman yang hidup. Tetapi, di Indonesia, saya masih melihat bahwa ada suatu keistimewaan yang dilakukan baik oleh aparatur negara maupun kelompok tertentu yang coba dipaksakan untuk diterapkan pada masa puasa yang justru melambangkan kedangkalan puasa dan justru mengurangi sifat keilahian puasa yang sebenarnya.
Saya sering membaca di koran bahwa ketika menjelang bulan puasa pemerintah setempat mewajibkan setiap warung untuk menutupi warungnya dengan kain atau melarang bar-bar untuk buka pada bulan puasa. Bahkan, seringkali ada pemaksaan secar fisik terhadap unit usaha hanya karena dianggap menodai bulan puasa. Saya lalu bertanya pada diri saya, bukankah puasa bearti menahan diri, kesabaran? Tawaran-tawaran yang dianggap godaan terhadap puasa itu justru merupakan ujian untuk memahami arti puasa sesungguhnya. Bukankah kita memahami, bahwa hidup adalah pilihan dan godaan tersebut juga merupakan pilihan yang keputusanya ada pada tangan yang berpuasa? Jadi inilah ujian yang sebenarnya. Jadi betapa dangkalnya pemahaman orang-orang yang merazia warung-warung makan dibulan puasa? Dibulan puasa, kita justru gila akan rasa hormat dan privelese akan puasa itu sendiri.
Jadi, kitalah yang menentukan pilihan akan puasa. Warung makan, bar, karoke bukanlah suatu masalah ketika berpuasa karena mereka adalah pilihan-pilihan dan kita punya pilihan untuk memilih atau menolaknya. Haruskah mereka semua dilarang? Tidak. Kita justru ditantang untuk menguji keimanan kita dan kesabaran kita. Saya kok heran disekolah kok kantin harus agak ditutup atau minum gak boleh didepan khalayak ramai. Apakah arti puasa sedangkal itu? Jika anda berpikir demikian, maka sebaiknya kita berpikir lagi tentang puasa yang sebenarnya. Pagi-pagi disekolah sebelum ngajar, saya browse dinternet catatan pinggir pak Goenawan mohamad dan menemukan sebuah tulisan yang amat menarik dan menggungah yang berjudul ‘puasa’.


Puasa September 17, 2007 dari caping wordpress
DI hari-hari ini saya berpuasa dan merasakan sebuah privilese: saya dihormati. Dengan tekad saya sendiri saya berniat tak makan dan tak minum sejak dini hari hingga senja; selama itu saya sadar bahwa akan ada saat-saat saya bisa tergoda—tetapi saya selamat. Saya siap untuk terganggu, tetapi lihat: saya tak boleh diganggu.
Privilese itu kini sudah seperti sesuatu yang semestinya. Demi ibadah saya, yang saya niatkan sendiri, orang-orang lain tak bisa pergi pijat karena selama sebulan semua panti pijat harus ditutup—meskipun ini bukan tempat yang mesum sama sekali—dan sekian ratus pemijat tidak mendapatkan penghasilan. Demi ibadah saya, orang-orang lain tidak dapat minum minuman beralkohol selama kurang-lebih 30 hari, siang dan malam—meskipun mereka lazim melakukannya sebagai bagian dari hidup mereka—karena bar tak boleh buka dan kalaupun ada restoran buka, bir, anggur, wiski, konyak, vodka, dan lain-lain harus masuk kotak.
Terkadang saya tak tahu apakah saya merasa bangga, atau bersyukur, atau merasa bersalah, ketika di mana-mana dipasang anjuran: ”Hormatilah Orang yang Berpuasa”.
Tentu saja sikap menghormati adalah sebuah sikap yang bisa datang dari hati yang ikhlas dan sukarela. Tapi sikap itu juga bisa diperlihatkan khalayak ramai karena aturan pemerintah, para ulama, atau tekanan lain yang menakutkan. Kita sekarang tidak tahu yang mana yang menentukan. Jika ada polisi atau petugas kota praja—belum lagi kelompok orang galak yang dengan gampang menyerbu dan merusak—yang membuat penghormatan itu berlaku, saya tak pernah yakin sejauh mana penghormatan (atau lebih tepat ”apresiasi”) yang ikhlas yang sedang saya rasakan. Jangan-jangan semuanya adalah penghormatan (atau lebih tepat ”sikap merunduk”) yang dengan gerutu.
Tapi di sebuah negeri yang tak jarang memperdagangkan kepalsuan, akhirnya soal seperti itu tak dipersoalkan. Pokoknya: saya berpuasa, sebab itu saya harus dihormati.
Namun saya tak hendak mengomel. Sebab menghormati orang yang berpuasa dapat berangkat dari sebuah alasan yang bagus. Ramadan sering dikatakan sebagai bulan yang dekat dengan rohani. Tetapi tak kurang dari itu Ramadan sebenarnya menekankan pentingnya tubuh—justru dengan mengaktualisasikan tubuh yang tak penuh. Bulan ini adalah bulan yang berbicara tentang kondisi dasar manusia yang paling kurang. Puasa adalah penegasan diriku sebagai sesuatu yang lapar dan juga retak: sebagai aku yang ingin dan tak mendapat, aku yang menolak untuk rakus tapi juga merasa sakit.
Tapi saya, yang berpuasa ini, juga sering tak menyadari bahwa puasa dapat memberi diri sesuatu yang sama sekali bertentangan: rasa berkelebihan, bahkan supremasi. Aku seakan-akan dalam kesucian, sebagai yang ”berkorban” dan juga sebagai yang ”tak najis”. Orang lain? Mereka dosa, loba, penuh syahwat—pendeknya lebih nista dari diriku.
Itu barangkali asal mula orang lain dituntut untuk menghormati aku. Kalau tidak, orang lain harus aku jauhi. Kalau tidak, orang lain harus aku tobatkan. Aku, si suci, harus meniadakannya sebagaimana dia adanya, dengan menyisihkan atau mengubahnya.
Salah satu problem besar dunia ialah bahwa kita sering menemukan wajah yang bertentangan seperti saya sebut tadi dari orang yang berpuasa—atau dari orang dalam ibadat yang mana pun. Kontradiksi ini disembunyikan atau ditekan karena wacana yang ada diberi sanksi oleh sebuah bayangan tentang Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna yang menuntut keutuhan dan kekuatan, bukan sebuah bayangan tentang Yang Maha Rahman dan Rahim yang mengampuni si daif dan si retak-cacat.
Dalam wajah yang lapar, yang dekat dengan tubuh, dalam kekurangan dan kefanaan, manusia hadir mau tak mau mengalami dirinya bukan sebagai sebuah ide, bukan sebuah konsep yang abstrak. Perut yang meminta nasi dan tenggorokan yang sedikit bau basah tidak ada dalam Manusia dengan ”M”. Seraya bersentuhan dalam sifatnya yang konkret, manusia mengalami dan menyadari apa artinya perubahan, apa perlunya perbedaan dari waktu ke waktu, perbedaan dari satu situasi ke situasi lain.
Tetapi bila puasa bukan menandaskan wajah yang lapar, melainkan kesucian diri yang penuh, manusia merasa seakan-akan berada di atas segala situasi, di luar waktu, tak tersentuh perubahan, dan perubahan bahkan dapat berarti najis.
Di hari-hari ini saya berpuasa—dan apakah gerangan yang tumbuh dalam diri saya? Sesuatu yang menghargai yang fana dan sebab itu berterima kasih atas setiap momen empati? Atau sesuatu yang meminta dihormati, karena aku adalah sebuah prestasi, sebuah posisi di atas sana, di mana yang kekal dan sempurna mengangkatku?
Jika saya harus menjawab, saya akan mengatakan: saya takut dihormati.
~Majalah Tempo Edisi. 30/XXXVI/17 - 23 September 2007~
Jadi, kita harus melihat arti puasa lagi dan bertanya pada diri kita, apakah saya minta dihormati?jawablah sendiri

Peace and Love


Kristian

Minggu, 07 Oktober 2007

On Reading

If I am not mistaken, it has been five or six months I have not read Kompas Newspapers since my return to West Borneo. From that time, everyday I read some local newspapers in my town. To be frank, in my opinion, those newspapers for some reasons have not presented worth reading news for their readers because most of the headlines are covered by violence such looting, crime news, rape, gambling news etc[not all, some are good. But the portion is still imbalanced]. The local newspapers put a bigger portion for such hard news. As a reader, I think such news to some extent has decreased society’s sensitivity and affection to violence since such news is presented daily and uneducated. I cannot find such interesting opinions or writings on the opinion corner.
When I was in college, every morning I used to go to the library to read newspapers such as Kompas, Tempo and some other English newspapers. I found that Kompas’ Opinion corner so interesting and inspiring. Some writers such as Goenawan Mohamad, Gede Prama, Mochtar Buchory, and Haryatmoko are among those who inspire me through their writings in Kompas. I like them so much [it is my habit when I read Kompas to read the opinon corner first]. Since my return home, I have looked for it in the town where Kompas seller is and I could not find one. Long time ago, I remembered that there was a man who sold Kompas but recently Kompas is a scarce thing to find here.
This morning, when I was going to the church, a newspaper seller rode the bike to the parish or the church where I attended a mass. I saw in the seller’s bike basket there was Kompas Newspapers and I shouted to stop him. I asked him about the newspapers. He said to me that there is Kompas but it is only for subscribers and the priest is one of them. The seller is afraid of buying many Kompas Newspapers because of the sale here is not good. So he buys only for the subscribers. Today, I begged the seller to sell one for me [He said that actually he can’t sell it because it is the only one left for him]. Kompas newspapers are never on time here, it is always a day late. It means if you buy it Sunday, it is the Saturday edition and always like that because of the distance [even in Pontianak, Kompas comes at 12.00 o’clock].
Today, I find the joy of reading Kompas that I have lost for a quite long time. Today I read again my favorite writer Goenawan Mohamad writing on Atheism on page 39 and Gede pram on peace. I feel happy today for such things. From today, I told the seller to buy for me Saturday and Sunday editions and it costs me to save some money from my very low salary as a teacher for 5500 Kompas Newspaper. I am happy doing such things since as a teacher I need to know what happen in the world. I am not saying that I am an ardent reader or a kind of, but I like reading in my spare time. Till now, I keep learning on how to improve my reading skills and love on reading. Happy reading to everyone. God be with you.



Peace and Love


Kristian

Television

Few months ago, one of my nephews studying in Jogja came home to spend his holiday here. In my sister’s home, there is a TV in the main room and it has been there for years. One day, my naughty nephew was watching TV and searching for the channel he wanted to watch. He found it. It was RCTI, but there was a problem, the picture was somewhat disturbing [it got stuck or Sangkut and Petak2]. Then, with all his sound knowing knowledge, he asked a man [a boy who works for my sister’s shop] to position the antenna by pulling it to the left or right and etc. While my wishy-washy nephew was playing the remote tried to fix the TV, he shouted ordering the man. Do you want to know the result? All the TV channels were lost and all were no signal. The consequence is that we cannot watch TV anymore. What a bad day!!! I said to him Tikus Perbaiki Labu. Since then, the TV is a piece of junk left in the room with not function at all. I could not watch metro TV news anymore.
Actually, my sister has called a mechanic to fix the TV many times and he came twice but it did not help either [maybe he is not a real TV technician]. He said that we had to change the digital receiver [in Borneo, Digital receiver is needed. Not like in Jogja, what you need is just a TV and antenna]. I told my sister what a nonsense what the technician said. It has nothing to do with the receiver. Today, a new technician came, he added what he called NLB and tried to reset the TV scanning system and luckily the channels are good. We can watch TV again. Actually, I don’t often watch TV a lot at home. I just watch news sections and some box office movies. I hate Sinetron and its kinds. Besides that, my mother and sister have always become the ruler in the room and I respect them since it is their right to do so. I like watching Metro This Morning, BBM, and Kick Andy. Most of the shows are on Metro. Now, the TV is not sick [like human] anymore and we can see the world again. VIVA


Peace and Love


Kristian

Jumat, 05 Oktober 2007

SILENCE

When I was in Jogja, I bought some books on meditation. Some of the books are Zen written by a Japanese, Sadhana by Father De Mello and Metta by Sayadaw U Undaka. For such a long time, I always wanted to attend a meditation workshop; unfortunately, I could not realize my dream even once during my residency in Jogja for about four years. I have read all those three books and wanted to try to practice what the books say. I know that if I can soothe my self through meditation, I will be a much mature person. One night, before I went to bed, I tried to sit straight on a pillow with the eyes closed trying to remain silent for ten minutes. I tried not to think anything; I just sat and observe what I hear around me. I felt it was really difficult. My mind pushed me to talk and asked my self what is the significance of what I am doing. Finally I surrendered myself to the temptation and opened my eyes not even six minutes yet [I set an alarm].
After doing the unsuccessful silence, I realized that I have filled my days with all the talks. I have talked so much during my life and have not spent some time to be silent. Now, I understand that silence is not an easy thing to do. As I am writing this in my blog, my mind is still asking me why it is hard to remain silent. I have understood that silence can give me a pause to think about my life and give me time to reflect what I have done and achieved in my life. From now on, in the school, I try not to speak a lot and be silent for a while. I have also found an article about a kind of silence that is practiced by some Trappist monks in America. In the Trappist monk tradition, it is forbidden to talk among new members [novice] for four years in the monastery. They communicate by using hand gestures and signs. What such a hard way of life!!! Can you imagine of living such a life? It must be so hard.
Till now, I still have a dream of attending a mediation practice guided by the GURU such as ANAND KRISNA or BU LANY. I want to feel what the real joy behind such practice is. So, guys, if you know such events please let me know by sending an email to me or contact me. Back to the silence, silence is the key to calmness. Calmness is the key to anger reduction which will lead me to non-violent person. I am one of Gandhi’s admirers. I adore Gandhi for practicing AHIMSA in his life. I respect him because Gandhi can fast unto death to protest the British Salt Tax. He is the great soul. I cannot be like Gandhi and never will I be but I can remain silent when people get angry with me and keep unemotional and not aggressive. Let’s learn to remain silent.


Peace and Love

Kristiian

West Borneo Upcoming Governor Election

Next month, West Borneon [If I can say “people in West Borneo” like Jakartan, Papuan. I don’t know whether is morphologically acceptable], will elect their first direct governor election. Two months before the election, some candidates had promoted themselves to the society and proposed some sound-good programs to develop my West Borneo Province. Few weeks ago, the local election commission issued four governor candidates who will fight to get the governor position in the upcoming election. The four candidates are Incumbent Usman Jafar, Legislator Akil Mohtar, Oesman Sapta and Landak Regent Cornelis. From the four candidates, there is only one candidate considered as the native inhabitant of West Borneo, that is, Drs. Cornelis MH. To be honest, I myself don’t know the track record of the four candidates and don’t know who to choose in the coming election. In my opinion, it is time to let the native to lead their own land since the dayaknesse has never led the land for almost about 42 years. What a long time!!! The reason why I said like that is to answer the native people complaints that say West Borneo can’t get better because it is led by ‘foreign comer’. Let them be home to their own land. This is fair enough I think.
As a voter, I myself will elect the native candidate though I don’t know him at all, but at least it gives me a feel of participation in the politics world. For young generations like me in the WEST BORNEO, I invite them not to be the white party but be active to succeed the election. For the winner, I hope he will keep his words and do the best to improve West Borneon’s life and make poverty history. Sometimes I feel sad seeing young kids stop their schooling and work as a gold miner. Poverty has made people in my province forget the importance of education

Peace n Love


Kristian

Rabu, 03 Oktober 2007

Fasting Month: Fast To Disturb

A few weeks ago, the Ramadhan Month came and all Moslems celebrated the coming of the month. As we know, Indonesia is the largest Moslem country in the world. But, there is something that quite uncomfortable for me during the fasting month, that is ‘THE SOUND OF THE SPEAKER’. I live just few meters from a mosque in my hometown. The mosque is so close to my brother’s home. Since the Ramadhan month, I have not slept very well because something disturbs me every morning[I don’t sleep very well every night though not the Ramadhan month] Here is the story why:

In about 12 meters from my home, there is a mosque [Al-iklas Mosque, if I am mistaken]. At the top of the mosque or below the dome, there are four big speakers there. Every morning around 3 am – 4 am, after the prayer is done, a man shouting in the mosque reminding people to open their fast, he said ‘Bangun, Sahur, and etc. one part of the show that I don’t really like is when the open time is getting close to due or Imsak. He will play a siren which is very loud and sometimes wakes me in the middle of my sleep. It sounds like an ambulance uuuuu….auuuuu. The sound was terrible and it disturbs me a lot. I don’t mind they do such things but please turn the volume down. We are not living in the jungle and tolerance is needed. Be informed that I have so many Moslem friends and I do not hate Moslems at all. I love them too. I just want to tell you my experience that I have faced so far.

I accept the sound that the man produces every morning during the Ramadan and for me tolerance is much more than just an acceptance. It involves understanding. You got the same stories??? Tell me


I also want to say happy fasting to all of you reading my blog

Peace n Love
Krsitian

Being Neutral

Landak regency, the town where I live, is newly formed regency. It was formed in 1999. Since the formation, Landak has had one only local leader or regent [Bupati] that is Drs. Cornelis M.H. The regent is a Dayaknesse, An aboriginal inhabitant of Borneo [I don’t really know who inhibited Borneo at the very fist time or who the original tribe was] but this is what people know when they hear the word ‘Borneo’. It may take years to study to find out the original inhabitants of Borneo or one even can write a dissertation to investigate the case. So no one can claim that he possesses the island. The regent has been in the position for two terms and it has been 7 seven years he leads the regency [3 more years]. Frankly speaking, I myself is a half blooded dayaknesse since my mother is a dayaknesse. Since this man becomes the regent in this town, he has made some radical changes in his government. A type of “TRIBAL PATRIOTISM’ has influenced the regent to change all his staff. He replaced all the department leaders with dayaknesse. He tried hard to raise dayaknesse to good position. In the field of education, he replaced all the headmasters in the region with dayaknesse and hence, it is a difficult situation for other tribes especially the Malay who has held the positions before. In my hometown, almost 90 percent the leaders now are dayaknesse. I think such thing is an example of the nature of law. It means everyone in power will elect their men to have a position.

With such a condition in my town, there is a problem in my school [not my school I mean]. It seems that there is a “cold war” among the teachers, maybe not among but between to major tribes; the Dayak and Malay. These two teachers’ tribes do not get along well each other and they try hard to take down each other. For the moment, the Dayak wins the battle since the headmaster is a dayaknesse. The Malay, on the hand complains in their hearts. In my opinion, the power control shift is a normal thing, and we need not to argue about it. I think tribe is not really a matter. Whoever the leader, as long as, he is fair enough is good. When I first joined the school, I did not feel such a cold war. I began feeling such a war when they both approached me to get my attention and truthly speaking I did not choose either one. I did not show the signs that I choose one of the two. I choose to be neutral since my look is like a Chinese because my father is a Chinese. I try my best to be neutral and enjoy my job without thinking the cold war. I don’t give a damn to it. I think being involved in such a racial problem is a form of immaturity. We need to be mature by not becoming narrow minded but open minded. We need to think clearly. I still remember a saying ‘do not judge a book by its cover’

Many teachers in the school, in my opinion, are wasting time in arguing such an unimportant thing. It is not the time to fight because of the race and origin. It is the time to increase our knowledge and be aware of everything. As a dayaknesse, I would like to inform all the young Dayak generations like myself to keep studying for the sake of our land and to improve our Dayak. We must strive to make Dayak to be illiterate for some in the remote areas can not read. In November 15th, there will a governor election, we all are expected to participate in the upcoming election and be mature in deciding your choice. My suggestion is follow your conscience and keep struggling.

Peace and love

Kristian

Selasa, 02 Oktober 2007

Leaving The Comfort Zone

Leaving good things that we enjoy so much behind is not an easy thing. That is what exactly happening to me now. It has been one and a half year since I graduated from Sanata Dharma University in Jogja. Now, I have to adjust to my new ways of life as a worker not as a student anymore. When I was a student in Jogja, I enjoyed a lot of activities I did. There in Jogja, I spent hours on surfing the internet, chatting with friends at the boarding house or at the university terraces and few hours reading at the library. I enjoyed all those mentioned activities a lot. Now, when I work as a teacher, the memory when I was in college sometimes comes up again in my mind when I think about my life. If I could turn back the time, I would like those moments to be back again. Those moments were my zone of life, such kind of life that I want.
As a man, I do understand we cannot have all the fun all the time. Life stands in between the sad and happy lines. Sometimes we fall on the sad line and on other times on the happy line. I also have to realize that my college time was not real life coz I was financially supported by my family members. Deciding to leave the comfort zone is my tough decision and I must take. There is no option to avoid it. It is time for me to learn the real life lessons of life and try to live a life which is mine. Now, I have daily routines in my life. I wake up 5.30 in the morning and be ready at the school at 6.30. I prepare some lessons for my students and some other extra activities. Now, I cannot ask for money to my brothers or sisters [since they funded my study] anymore since I have graduated and must look for money for myself. I feel the real life now. I feel how it feels to be ‘a slave’ in the office. You have to do that, this etc.
This year I plan to work a teacher for about a year or so. I want to feel the joy moment of being a teacher and learn a lot about socialization in a community. I have some students that need my help in learning English and their spirit has pushed me keep on teaching them. By leaving my comfort zone, I hope that I grow more mature as a man and as a teacher. I hope this experience will teach me to be strong to endure bad things happen to me and be persistent in doing everything.

Peace and Love
Kristian

UN and STUPIDITY

What does UN have to do with STUPIDITY? It is a weird question since as the government says that the purpose of implementing UN or National Based Examination is to increase our education quality. Is it good as it sounds? I think it is not. In my opinion the implementing of UN is producing a new kind of STUPIDITY in our nation. What do I say like this??? Let me tell you my story:

I have been becoming an English teacher at a state school in my hometown for about five months. My main duty is to teach English to the second grade of Vocational School at the town. Few months ago, the third grade students were on the field to parctise the skills they have got from school. They were doing a kind of community service [PSG]. At the early of this month [to be exact on September 29th] the students returned from the workplace. The third grade students are back to school to study as usual. Some weeks ago, I do not remember the exact date but it was in August. I was called with some other teachers [five teachers if I am not mistaken] to the headmaster’s room. At first, I did not know what was the call meant and I was still confused with the purpose of that meeting. The headmaster started the meeting with the sentence “we are here to discuss the UN which will be held next April 2008’. The headmaster continued speaking with some other phrases and the point is UN in getting closer and we need to be prepared. He told us that there were 2 options to choose to face the UN that are available for us. The options were “Heaven on Earth Way” or Hell on Earth but Heaven on Heaven Way” [Cara Surga dibumi dan Cara neraka dibumi] what do the two options really mean? Let me further explain to you. The first option is we choose not to cheat on the UN or do the test honestly by not helping our students in the UN. We will not make a success team to help students answer the questions in order to make them graduated in the test. He also told us to be ready with the risks [some parents might bring a ‘MANDAU’ a sword to school and blame you if their kids fail to graduate]. The second option is we help the students that they can all graduate in the UN. The teachers will answer half of the questions in the UN [this is common in this country as in Medan, Komunitas Air Mata Guru disclosed this practice]. The headmaster asked all of us, each of us said no and some were still in doubt. I said no and never will I choose the second option though I am fired from the school. The final decision hs yet to be made. It is still at stake. Hope we choose the first option.
My story gives me a lesson that UN is producing a new kind of stupidity in our education. UN has taught teachers to cheat since they are forced by the system and the authority. Headmasters are afraid of losing his position and by the anger of the students’ parents and some other kind pressures. As a new teacher, I have known such story from newspapers and TV news. I never thought I would be in such a dilemmatic choice. Are teachers wrong of helping students? Headmasters wrong of pressing the teachers? The answer is NOT. The system has made them to do so. So it is clear that UN is nothing but STUPIDITY proposed by smart people in the department of education. UN is a project to get money.
In any programs as I know, if we want to implement a system, we need to take into account some the following considerations: let’s say UN. We need to ask: Are the teachers met the standard system? Are the facilities available? Is every region has the same ability and some other questions? So, the implementation of UN is a waste of money, energy, time and bringing a new kind of stupidity. What an irony! This is Indonesia. Every nonsensical thing can happen.


Peace and Love

Kristian

Senin, 01 Oktober 2007

Lessons From The Battle

Recently, I have been assigned to train some 30 headmasters at my hometown, Landak regency on how to use the internet. I work as a part-time English teacher at the school. I have been in the school for few months [to be exact four months]. Most of the headmasters are above forty years old and even fifty years old. The headmaster in my school [one of the participants] asked me to become one of the trainers because I can surf the internet only [though I was not trained to be computer trainer, I learnt computer and such stuff when I studied in Jogja]. In my school [to call it ‘my school’ is my bad habit since it is not mine in fact. It is just a place where I teach], there are only two computers teachers for the whole 13 classes [around 300 students or more and we’ve only got 36 computers with around 20 can still be used. Others are broken for some reasons]. Back to the training program, the program is designed to introduce the internet to these 30 remote area headmasters [most of them]. They are expected to be able to use the internet after taking the training.
At first, I thought it would be quite easier to do if our duty [since we are a team] is just to teach them use the internet such as making an email account, use the search engine and create a blog and other stuff. But my prediction was totally wrong, from some of these 30 headmasters, most of them can’t even use the basic computer programs such Microsoft word, Power Point. For short, some of them never even touched the computer before. They could not type on the keyboard properly. As a result of this situation, we have to teach them from the very beginning all over. In the very first meeting, I told the participants that English is the key to computer literate. I myself had never taken a course on how to surf the internet. I can surf the internet because I know English a bit. When I was teaching them to use the computer, one of the headmasters [from a remote area] talked to me about the situation in his school. I asked him about how his school teach computer to his students? Or did his school have a computer subject?
The answer was surprising. He said his school does not have any computers [even one], though it is a state junior high school in a county. I felt a bit curious and kept asking him some other questions to know his school situation. He told me that the school has a subject cal TIK [computer subject] for the students. The assigned teacher is a high school graduate from the city who knows and understands computer coz he got computer lessons in a catholic school in the city. He told me that the teacher used drawings to visualize the computer parts and components when teaching his students. What a pity!!!! at that time I was shocked because of the answer.
The headmaster also said that for the very first year in his duty at that school, he hired ten high school graduates to teach junior high school students at the school since there was no teachers at all[ only he and a teacher]. The story of education continued to broad issues such as curriculum and others. As a very young teacher [I am not even 23 years old yet] I did not know what to say to such a story. The next thing he told me also kept my eyes opens wide. He told me that some of his students at the school when they were tested at the admission test could not even read ABC, or the alphabet. Oh…God. Elementary school graduates cannot read. So the school decided to teach them reading, writing and counting [calistung, in his term]. He teaches them starting the very basic again. After hearing some of his stories on education from the man on the field, I understand better now about our education. And in the deepest of my heart, I thanked God for giving me a chance to go to college. On our final discussion, the head master made a quite interesting remark on commenting the newly issued curriculum KTSP. He said KTSP as the curriculum of “Kate Siape” means “who says” in Malay language and Kurikulum Tidak Siap Pake. What a nice remark!!!!

My Lit Sister and My Niece

My Lit Sister and My Niece

My Niece and Nephew

My Niece and Nephew
Lucu-Lucu dan Ganteng